Saturday, January 6, 2007

UMK Terancam ”Deadlock”

Apindo Merasa Disudutkan Cetak E-mail
Rabu, 29 November 2006

UMK Terancam ”Deadlock”
BATAM (BP)
- Pernyataan Wakil Wali Kota Batam Ria Saptarika soal sikap Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam yang enggan meneken hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL), dinilai Ketua Apindo Batam Abidin terkesan menyudutkan asosiasi pengusaha itu.

”Harusnya tanya dulu dong ke Apindo, kenapa Apindo tak mau meneken hasil survei itu. Kami pengusaha juga aset, jadi harusnya kros cek dulu.


Wakil Wali Kota itu terkesan tak menguasai persoalan,” ujarnya kepada pers di Jodoh, Selasa (28/11).
Menurut Abidin, Apindo sudah menjelaskan alasan mendasarnya melalui surat keberatan yang dilayangkan ke Kadisnaker bernomor 015/DPK-Apindo/V/2006 tertanggal 23 Mei 2006. Surat tersebut juga ditembuskan ke Wali Kota Batam, Gubernur Provinsi Kepri, DPRD Kota Batam, Menaker, Ketua Apindo pusat dan instansi terkait lain.


Dalam suratnya, Apindo tidak sepakat dengan beberapa komponen KHL yang disurvei, karena berbeda dengan kondisi riil Batam. Yakni jenis barang dalam urutan 25 dan 26 seperti yang tertera pada lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Nomor: Per-17/VIII/2005 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian KHL. Komponen dimaksud adalah meja dan kursi, serta lemari pakaian dari kayu. Menurutnya, sudah menjadi kelaziman di Batam bahwa pemilik rumah sewa sudah menyediakan perlengkapan tersebut.


”Meja dan kursi itu biasanya ditempatkan di ruang tamu, tidak mungkin di dalam kamar yang ukuranya rata-rata 2,5 x 3 meter. Mau tidur di mana kalau di kamar,” katanya.


Begitupun dengan komponen sewa kamar. Umumnya di Batam berdasarkan hasil survei, satu kamar dihuni oleh dua orang, bahkan sampai ada empat orang. Sewa kamar itu, juga sudah termasuk biaya listrik dan lampu, sehingga tak lazim jika dimasukkan dalam perhitungan KHL.


Jika empat komponen ini dikeluarkan atau disesuaikan dengan kondisi Batam, tambah Abidin, baru Apindo akan meneken hasil survei itu. ‘’Jadi tak benar kalau dikatakan Apindo tidak fair, kita sudah cukup fair. Apindo juga cukup kooperatif. Harusnya Pemko Batam paham hal ini. Kan sudah dilayangkan surat ke mereka,’’ katanya.

Minta Duduk Bersama dan Pertemuan Triwulan

Bos PT Satnusa Persada itu juga menegaskan, seharusnya persoalan ini dibicarakan bersama dengan semua pihak. Abidin mengkritik Wali Kota Batam yang hingga saat ini tidak merespon permintaan pengusaha untuk duduk bersama membahas berbagai persoalan yang dihadapi dunia usaha Batam. ”Permintaan kami tak muluk-muluk. Cukup per triwulan (tiap tiga bulan, red) sekali. Banyak persoalan yang perlu dipecahkan bersama,’’ ungkapnya.


Salah satu persoalan mendasar adalah upah. Selama ini, kata Abidin, pengusaha cenderung dijadikan kambing hitam. Padahal, upah bukan satu-satunya jaminan pekerja sejahtera. Berapapun kenaikan upah, tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi pekerja, jika tak ada upaya menekan harga kebutuhan pokok.


Apindo melihat, sampai saat ini, pengawasan yang dilakukan Pemko Batam nol besar. Itu akibat masih seringnya pejabat Pemko Batam duduk manis di meja kerja, menunggu laporan anak buahnya yang belum tentu sesuai kondisi lapangan. Ibarat remote kontrol, para pejabat ini tinggal memanggil jajarannya untuk mengontrol kondisi di lapangan. Seharusnya, sekali-kali langsung turun ke lapangan, lalu mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menekan harga-harga kebutuhan.


Di Johor, kata Abidin, ada posko-posko pengaduan jika harga kebutuhan melejit. Pemerintah mereka langsung merespon pengaduan masyarakat itu dengan mengambil langkah-langkah menekan tingginya harga kebutuhan pokok itu.


‘’Harusnya Pemko Batam juga membuat posko pengaduan. Tapi mana? Mana tanggungjawab pemerintah. Kami pengusaha yang selalu disalahkan. Padahal pengusaha juga aset. Ingat, UMK belum ditetapkan, barang-barang sudah naik. Jadi mana kontrol pemerintah,’’ tanyanya.


Ia menegaskan, jika hanya upah yang menjadi sorotan, tanpa ada upaya pemerintah mengontrol harga-harga, maka ke depan, upah Batam akan lebih mahal dari Johor, Malaysia. Kondisi ini tidak baik bagi dunia investasi di Kota Batam. Saat ini, pengusaha penanaman modal asing (PMA) yang ada di Batam sudah mengeluh, bahkan keluhan itu sudah disampaikan ke Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi. Jika UMK 2007 lebih dari 10 persen dari nilai UMK 2006, PMA tidak sanggup lagi.


”Makanya dia titip Batam ke saya (Apindo, red). Saya sudah mati-matian, kritik sana-sini, saya bahkan sudah terjun bebas. Tapi apa, Pemerintah kita (Pemko Batam) sudah mati rasa. Fungsi pengawasannya tidak jalan,’’ ungkapnya.


Ia mengingatkan, komponen vital seperti air dan listrik di Batam saat ini jauh lebih mahal dibandingkan Malaysia dan Singapura. Air di Johor Baru hanya 0,43 dolar per meter kubik, sementara di Batam 1,7 dolar per meter kubik. Listrik di Johor 25 persen lebih murah dibandingkan Batam.


”Kalau dunia usaha ditekan terus, ya, Batam bisa tidak kompetitif lagi. Industri di Batam bisa mati. Apalagi jika 2010 nanti upah di Batam lebih tinggi dari Johor. Batam, bisa jadi kota mati,’’ katanya.


Oleh sebab itu, sekali lagi ia meminta Wali Kota Batam memberikan waktu pada pengusaha Batam untuk audiensi minimal tiga bulan sekali. Gunanya, membahas persoalan yang ada secara bersama-sama, supaya Batam bisa tetap kompetitif, bisa tetap maju. ”Jangan hanya mengurusi yang tidak penting. Nasib industri di Batam penting. Ingat industri di Batam kontribusinya yang paling besar (85 persen PPH, red). Banyak sekali hal-hal yang perlu dibahas, seperti masalah domisili dan lainnya,’’ katanya.


Di tempat terpisah, Wakil Ketua Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) Kota Batam Anto Sujanto tetap meminta Wali Kota Batam mengeluarkan SK nilai KHL berdasarkan Permenakertrans Nomor: Per-17/VIII/2005, di mana komponen sewa kamar tetap dihitung satu orang lajang untuk satu orang per bulan, bukan dua orang seperti yang diinginkan oleh Apindo. ‘’Itu amanah Permenaker,’’ tegas Anto.


Menanggapi dasar yang dikemukakan Anto, Abidin mengatakan, Permenakertrans juga mengamanatkan, kalau nilai KHL ditetapkan secara bertahap, tidak sekaligus. Selain itu, upah dasarnya bukan hanya dari komponen KHL, tapi komponen lainnya juga perlu diperhatikan, seperti komponen kemampuan pengusaha.

Pembahasan UMK Mundur

Sementera itu, pembahasan UMK Batam 2007 terancam deadlock. Angka usulan dari serikat pekerja dan Apindo Kota Batam terpaut cukup jauh, yang mustahil bisa dinegosiasikan dalam pembahasan yang tinggal dua kali lagi.
Bahkan pembahasan UMK kedelapan yang dijadwalkan Selasa (28/11) kemarin di Kantor Wali Kota Batam, batal. Penyebabnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja Pemko Batam sekaligus Ketua Dewan Pengupahan Kota Batam Pirma Marpaung, tak bisa hadir karena sedang ada acara di Jakarta.


”Kami sangat kecewa. Waktu pembahasan menjadi sangat sempit. Kita tak ingin Gubernur Kepri menetapkan UMK terburu-buru tanpa kajian dan masukan dari serikat pekerja,” kata Anto Sujanto yang juga anggota Dewan Pengupahan Kota Batam ini.


Anto mengakui potensi pembahasan UMK deadlock sangat tinggi. Pasalnya, dalam pembahasan yang tinggal dua kali lagi sulit tercapai kesepakatan karena angka usulan serikat pekerja dan Apindo beda jauh. ”Deadlock atau tidaknya akan diketahui dalam pembahasan kedelapan yang dijadwalkan kembali, Kamis (30/11) nanti,’’ katanya, Selasa (28/11).


Anto mendesak agar Wali Kota Batam Ahmad Dahlan segera menetapkan KHL Kota Batam sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 17 Tahun 2005. KHL sesuai Permanaker, katanya Rp1.176.793. Satu kamar hanya diisi satu orang. ”Jadi bukan dua orang satu kamar. Kalau dua orang KHL hanya Rp1.026.793. Jika ditetapkan di luar angka ini, berarti cacat hukum. Kita bawa kasusnya ke PTUN,” tegasnya.


Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja Pemko Batam Pirma Marpaung mengatakan pembahasan UMK tahun 2007 mulai menemukan titik terang pada pertemuan ketujuh. Indikasinya adalah Apindo mengusulkan kenaikan yang cukup tinggi, dari dua setengah persen menjadi empat persen. ”Kita optimis tak akan deadlock. Kalau dalam pertemuan kesembilan tak tercapai kesepakatan, kita akan tambah waktunya,” kata Pirma.


Dalam pembahasan ketujuh, Apindo mengusulkan angka Rp847.600 atau naik empat persen dari UMK Batam 2006 sebesar Rp815.000. Sedangkan SPMI dan SPSI mengusulkan angka Rp1.026.793.

Harus Saling Menguntungkan
Sementara itu, terkait masalah permintaan Singapura agar kenaikan upah minimum kota di Batam, Bintan, Karimun (BBK) tidak melebihi dua digit (di atas sepuluh persen, red), Wakil Ketua Komisi IX Max Sopacua meminta agar pemerintah bersikap terbuka, khususnya dalam merespon permintaan Singapura itu.


”Pengusaha biasanya memiliki hitungan versi pengusaha, tetapi serikat pekerja juga memiliki hitungan tersendiri. Yang penting titik temu soal upah itu harus merupakan win-win solution karena bagi pekerja living cost adjustment sekarang ini juga makin tinggi,” ulasnya kemarin.


Menurut salah satu Ketua di DPP Partai Demokrat itu, yang perlu dicermati adalah kemungkinan adanya pihak-pihak yang sengaja menimbulkan kekacauan di Batam, Bintan dan Karimun. Kalau sampai masalah upah di BBK berlarut-larut, kata Max, dikhawatirkan akan ada pihak yang sengaja memancing di air keruh.


”Karena itu pemerintah perlu bersikap terbuka, mengapa Singapura sampai memiliki permintaan seperti itu. Pemerintah harus secara terbuka menjelaskan apa konsesi yang ditawarkan Singapura jika pemerintah menuruti kemauan Singapura,” tukasnya.(nur/dea/ara)

No comments: