Sunday, August 5, 2007

34 PMA Baru Investasi di Batam

34 PMA Baru Investasi di Batam PDF Cetak E-mail
Sabtu, 04 Agustus 2007

Periode Januari-Juni 2007
BATAM (BP)
-Aplikasi Penanaman Modal Asing (PMA) selama periode Januari-Juni 2007 terdapat 34 proyek PMA yang disetujui aplikasinya dengan nilai investasi sebesar 163.945.386 dolar AS. Sedangkan aplikasi proyek perluasan usaha yang telah disetujui sebanyak empat proyek senilai 10.335.871 Dolar Amerika.

Kepala Biro Pemasaran dan Humas Otorita Batam, Rusliden Hutagaol mengatakan, khusus pada bulan Juni 2007, ada enam aplikasi proyek PMA yang disetujui senilai 12.050.000 dolar AS. “Bulan Juni ada proyek perluasan usaha,” kata Rusliden, Jumat (3/8) kemarin.


Dijelaskannya, aplikasi PMA selama periode Januari-Juni 2007 meliputi bidang usaha industri untuk berbagai pekerjaan. Khusus logam ada, industri pembuatan kapal lima proyek, industri lensa kontak satu proyek, penyediaan tenaga listrik satu proyek, industri pipa dari besi satu proyek,
perdagangan besar lima proyek, industri dan jasa lainnya 18 proyek.


Kata Rusliden, aplikasi kebanyakan dilakukan pengusaha dari beberapa negara, antara lain Singapura, Australia, Inggris, Malaysia, Irlandia, Belanda, Cayman Island, Swiss, Korea Selatan dan China.
Ditambahkan, selain aplikasi PMA, pada periode Januari-Juni 2007 juga terdapat tiga aplikasi Penamanan Modal Dalam Negeri (PMDN) baru senilai Rp1.323.045.000.000 serta dan satu aplikasi perluasan usaha senilai Rp600.000.000.000. Kalau dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, mengalami peningkatan sembilan persen. Januari-Juni tahun 2006 hanya 21 proyek, sedangkan tahun ini 34 proyek. Juga ada peningkatan nilai investasi dari 33.815.000 Dolar Amerika menjadi 163.945.386 dolar AS,” ujarnya.


Dari aplikasi yang dilakukan selama periode Januari hingga Mei diperkirakan jumlah tenaga kerja yang dapat terserap mencapai 20.760 orang. Dengan demikian, kumulatif PMA sejak 1971 sampai dengan Mei 2007 telah mencapai 928 PMA senilai 4,7 Miliar dolar AS dan 145 PMDN senilai Rp3 triliun. Sedangkan, jumlah tenaga kerja domestik yang terserap mencapai 288.362 orang.

“Dengan berbagai insentif di bidang perpajakan serta berbagai program promosi Batam, baik di dalam maupun di luar negeri, investasi di Batam semakin meningkat. Suasana Batam juga sangat kondusif,” tukasnya. (dea)

UMS Pariwisata Harusnya Menyeluruh, Tak Hanya Batam

UMS Pariwisata Harusnya Menyeluruh, Tak Hanya Batam PDF Cetak E-mail
Jumat, 03 Agustus 2007
BATAM (BP) - Meski Dewan Pengupahan Provinsi telah mengusulkan besarnya Upah Minimum Sektoral (UMS), silang pendapat masih terus terjadi. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), berharap UMS Pariwisata tak hanya dikenakan kepada hotel dan restoran, tapi kepada semua industri pariwisata. Meski itu akan memberatkan hotel melati. Pemberlakukannya pun hendaknya menyeluruh, bukan hanya di Batam.

”PHRI bukannya menuntut dihapuskan karena merasa keberatan. Intinya, jika memang harus berlaku, berlakukan secara menyeluruh. Minimal se-Kepri dan untuk semua industri pariwisata. Jika tidak demikian, hapuskan sama sekali. Ini kan diskriminasi,” ujar Wakil Ketua II, PHRI Cabang Batam, Lody Anjes, usai acara pelantikan pengurus PHRI di Hotel Vista, Kamis (2/8) kemarin.


PHRI melihat kebijakan ini sebagai bentuk peraturan yang tidak jelas. PHRI sendiri, imbuh Sekretaris I PHRI, Sigit Budiarso, tidak pusing dengan tambahan pembayaran kepada karyawan yang hanya Rp43 ribu saja, atau lima persen dari UMK Batam 2007 yang besarnya Rp860 ribu.


”Apalah arti Rp43 ribu itu bagi karyawan dibanding peningkatan SDM yang mereka terima. SDM kan bisa dipakai seumur hidup, dan ini free,” katanya.


Kalau mau jujur, ucap Sigit, pemberlakukan UMS, malah merugikan karyawan. Pasalnya, dengan kenaikan yang hanya Rp43 ribu, akan diiringi kenaikan pemotongan kepada pendapatan karyawan. Misalnya, dengan ikut naiknya tunjangan hari raya (THR) dan Jamsostek.


”Coba tanyakan kepada karyawan, mereka ribut tidak masalah UMS? Saya yakin tidak. Yang ribut itu sebenarnya karyawan atau SPSI? Di level terendah karyawan hotel saja (0-1 tahun), paling tidak bisa menerima Rp1,6 juta per bulannya. Itu masih ditambah tunjangan lain dan tips,” ucap Sigit lagi.
Sebenarnya, kata dia, di daerah yang dirasa upah minimum provinsi (UMP) nya tidak sepadan, baru bisa mengusulkan UMS.


Selain itu, yang boleh melakukan usulan adalah Dewan Pengupahan.
”Tapi itu hanya untuk UMP, UMK dan UMD saja, tidak untuk UMS. Toh kita punya sistem pengupahan sendiri. Kita punya cadangan sesuai tingkat inflasi,” ucapnya tegas.


Sementara itu pernyataan Wakil Wali Kota Batam, Ria Saptarika kepada sejumlah wartawan kemarin, terkesan melempar bola kepada Gubernur Provinsi Kepri, Ismet Abdullah. Ria mengatakan, bahwa kebijakan dan keputusan berapa besaran UMS mestinya diputuskan langsung oleh Gubernur.


”Masalah UMS ini, diputuskan gubernur saja. jadi tidak ada masalah seperti sekarang,” katanya. (cr6)

Pemprov dan SPMI Bentuk Tim

Pemprov dan SPMI Bentuk Tim PDF Cetak E-mail
Jumat, 03 Agustus 2007
Perjuangkan Nasib Karyawan Livatech
BATAM (BP)
- Untuk memperjuangkan nasib 1.389 mantan karyawan PT Livatech, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri akan membentuk tim kecil yang tugasnya membantu mengawasi proses pengadilan kasus Livatech agar berjalan adil dan cepat, yakni sesuai waktu yang ditargetkan, dua bulan.

Kesepakatan ini tertuang dalam nota kesepahaman antara Pemprov dan Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) Batam. Kata sepaham ini dihasilkan dari dialog yang dilakukan kedua belah pihak di bekas kantor Gubernur, Sekupang, Rabu (1/8) lalu.


Nota ini dibarengi dengan dua kesepahaman lain. Pertama, Pemprov melalui Dinas Sosial (Dinsos) akan membantu mantan karyawan Livatech dalam hal kesejahteraan. Kedua, jika dalam tempo tujuh hari dari ditandatanganinya nota tersebut, tidak ada langkah konkrit yang dilakukan Pemprov, maka SPMI akan kembali melakukan aksi unjuk rasa.


Sebagimana diketahui, SPMI berencana menggelar aksi demo Kamis (2/8) kemarin. Terkait dengan kedatangan RI-2. Maksudnya, agar masalah Livatech ini, bisa di-blow up hingga pusat. Sehingga pusat akan lebih peduli dan turun tangan menangani masalah ini. ”Namun dengan ditandatanganinya nota tadi, kami menunda aksi kami. Tapi kita tegas-tegas. Kesepahaman kita jalankan, jika tidak, konsekuensinya, kita aksi lagi,” ungkap Ketua PC SPMI Batam, Agus Sriyono, yang disetujui Koordinator aksi, Masrizal, kemarin.

OB Tidak Selekstif Memilih Investor
Dalam kunjungannya ke redaksi Batam Pos, rombongan yang terdiri dari Ketua KC Batam, Nurhamli, Ketua PUK Livatech, Jhon Mauritz dan Sekretaris, Dodi Irawan, meminta agar OB lebih selektif memutuskan investor mana yang dapat menanamkan sahamnya dan beroperasi di Batam. Ini mereka katakan agar kasus serupa tidak terlulang lagi di masa yang akan datang.


”Kita baru tahu kalau Livatech itu ”miskin”, alat berat tidak punya, hanya meminjam. Di sini kita minta OB lebih selektif. Begitu pula pemerintah, hendaknya menuntaskan kasus ini,” tegas Jhon mengulang harapannya.


Untuk itu, mereka meminta agar ada kesinambungan kerja antara pemerintah dengan kepolisian, terutama dalam hal pengawasan aset Livatech. Pasalnya, terang Dodi pula, belakangan ada pihak yang mengklaim diri sebagai pemilik mesin-mesin di Livatech. Pihak tersebut, katanya, adalah Teak Malaka.

Ditakutkan, dengan adanya kalim ini, terjadi bentrok antara karyawan dengan pihak tersebut. ”Setahu kami, jika sebuah perusahaan kolaps, aset otomatis menjadi hak karywan. Jika ada sisa (setelah hak karyawan dipenuhi), barulah klaim pihak lain ditelusuri,” katanya.


Penandatanganan MoU di Hotel Planet kemarin yang dihadir RI-2, mereka harapkan juga menjadi salah satu jalan selektif dari pemerintah menyaring para calon investor. Selain itu, mereka juga berharap adanya Margin Deposit dari investro sebagai jaminan jika perusahaan kolaps. ”Jika tidak ada, maka pemerintah atau OB harus melakukan pengawasan ketat dan dalam tempo waktu tertentu, lakukan evaluasi,” tukas Jhon dan disepakati yang lain. (cr6)

PHRI Minta Dukungan Kadin-Apindo

PHRI Minta Dukungan Kadin-Apindo PDF Cetak E-mail
Senin, 30 Juli 2007
Agar UMS Pariwisata Dihapuskan
BATAM (BP)
- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) kembali menegaskan agar Upah Minimum Sektoral (UMS) Pariwisata dihapuskan di Batam. PHRI berharap dukungan dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Kepulauan Riau dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam dan Kepri.

”PHRI Batam sudah cukup lama jadi bulan-bulanan soal UMS, jadi kita berharap melalui Apindo dan Kadin, Gubernur Provinsi Kepri mau mencabut UMS,” ujar Ketua III PHRI Kota Batam, Lody Anjes, Ahad (29/7).
Alasan PHRI meminta UMS Pariwisata dihapuskan, antara lain PHRI selama ini selalu didesak dan disibukkan soal UMS. Sementara, organisasi lainnya yang merupakan bagian dari sektor pariwisata tidak pernah dilibatkan. Bahkan, di beberapa kota lainnya di Indonesia, UMS tidak dikenal. Di Provinsi Kepulauan Riau saja, hanya ada di Batam.


PHRI melihat ada diskriminasi dalam penerapan UMS di sektor pariwisata. Padahal, PHRI, khususnya hotel di Batam, sudah menerapkan gaji yang standar Upah Minimum Kota (UMK). Tak hanya itu, kata Lody, sektor pariwisata juga memberikan berbagai tunjangan (tergantung kebijakan masing-masing hotel, red) seperti pakaian seragam, perumahan atau transportasi, makan, Jamsostek, pendidikan/training, tambahan pendapatan dari service charge dan beragam pendapatan lainnya, sehingga total upahnya relatif lebih tinggi.


Pendapatan itu, kata General Manager Panorama Regency Hotel ini, belum termasuk uang tips yang diberikan oleh tamu, sehingga karyawan hotel dan restoran cukup terbantu. Sejatinya, kata Lody, dengan segala macam pendapatan tambahan yang didapatkan oleh karyawan hotel dan restoran, maka tidak perlu lagi PHRI disibukkan dengan UMS. PHRI sudah cukup paham apa yang terbaik buat karyawannya.


Lody juga mengatakan, kondisi sektor pariwisata, khususnya Hotel di Batam masih berfluktuasi. Artinya, terkadang hunian meningkat, tapi terkadang menurun drastis, sehingga pemasukan juga berfluktuasi. Seharusnya, pemerintah mengerti kondisi yang dialami oleh dunia pariwisata saat ini. Tidak mudah mendatangkan tamu hotel di tengah kondisi saat ini. (nur)

Pemko Didesak Alokasikan Anggaran UKM Buruh

Pemko Didesak Alokasikan Anggaran UKM Buruh PDF Cetak E-mail
Sabtu, 28 Juli 2007
BATAM (BP) - Belum berpihaknya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terhadap buruh, melahirkan keprihatinan bagi sejumlah anggota DPRD Kota Batam. Mereka mendesak Pemko Batam untuk mengalokasikan anggaran UKM berbasis buruh, mulai APBD-Perubahan tahun 2007.

‘’Supaya pengembalian lancar, sudah saatnya kebijakan penyaluran bantuan untuk UKM yang bebasis buruh,” ujar Ketua Fraksi Aliansi Nasional Onward C Siahaan kepada Batam Pos.


Menurutnya, selama ini, korban PHK, baik itu akibat efesiensi dari suatu perusahaan atau tutupnya sebuah perusahaan seperti kasus PT Livatech Electronik, selalu tidak ada solusi dari pemerintah. Akibatnya, karyawan korban PHK itu menjadi pengangguran.


Bukan hanya Livatech, masih banyak perusahaan lainnya yang hengkang, karyawannya kebanyakan menjadi pengangguran. PT Singacom, PT Singamit, PT Bulpakindo dan perusahaan lainnya. Padahal, karyawan-karyaan tersebut tak sedikit yang sudah menjadi tenaga ahli dalam bidang elektronik. Beberapa di antara mereka sudah ada yang disekolahkan ke Jepang, Singapura dan negara maju lainnya. ‘’Sebenarnya bisa diberdayakan, jika ada keberpihakan anggaran pada buruh,” ujar Onward.


Caranya, buruh yang menjadi korban PHK yang notabene tenaga-tenaga ahli di bidang elektronik, diarahkan oleh pemerintah untuk membentuk koperasi atau unit usaha kecil dan menengah (UKM) dengan konsentrasi kegiatan tetap pada produksi komponen elektronik. Melalui anggaran yang ada (idealnya 10 persen daro total anggaran, red), pemerintah bisa memberikan bantuan kepada koperasi atau UKM buruh itu.


Tak hanya bantuan dana, Pemko Batam juga bisa menjembatani koperasi dan UKM yang didalamnya penuh dengan tenaga ahli, untuk menjadi subcon (sub kontraktor) perusahaan-perusahaan elektronik yang ada di Batam.


‘’Kalau pengusaha takut produk mereka dilarikan, pemerintah harus berani memberikan jaminan. Garansinya pemerintah, apalagi track record buruh korban PHK yang notabene tenaga ahli dan sudah terseleksi. Saya yakin, kalau Pemko memberikan jaminan, tak ada perusahaan elektronik yang keberatan menjadikan UKM atau koperasi buruh tadi, sebagai subcon-nya,” ungkap Onward.


Justru sejumlah perusahaan elektronik akan menyambut baik pola ini, karena perusahaan-perusahaan besar itu, tidak direpotkan lagi dengan persoalan tenaga kerja, jamsostek dan hal-hal lainnya terkait ketenagakerjaan. Mereka hanya berhubungan dengan UKM atau koperasi buruh tadi yang mengerjakan produk yang mereka subcon-kan.


Onward mengatakan, tidak sedikit perusahaan elektronik di Batam yang awalnya hanya subcon yang kini tumbuh menjadi perusahaan besar. Pola ini, kata Onward, banyak diterapkan di China dan Taiwan. Tak heran jika di negara itu, banyak komponen elektronik, apakah itu untuk handphone, televisi atau produk elektronik lainnya, yang dihasilkan dari industri rumah tangga. Pemerintah mereka sangat mendukung.

Manfaatnya, tak sedikit produk elektronika yang saat ini sudah membajiri pasar mancanegara. Bukan hanya elektronik, sampai pada komponen industri berat dan berteknologi canggih. Melalui pola ini juga, terjadi transfer teknologi ke masyarakat, yang pada gilirannya akan melahirkan UKM atau koperasi yang mandiri yang bisa meyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pengangguran dengan sendirinya bisa diatasi. (nur)

Soal UMS, PHRI Mengeluh ke Kadin

Soal UMS, PHRI Mengeluh ke Kadin PDF Cetak E-mail
Jumat, 27 Juli 2007
Batam (BP) - Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI), Ajahib, Indonesia Congress & Convention Association (INNCA), ASITA dan BPTB menyampaikan keluhan tentang rencana kenaikan Upah Minimum Sektoral (UMS) Pariwisata kepada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Kepri dalam pertemuan, Rabu (25/7).

”Aspirasi seluruh asosiasi pariwisata tadi kita bawa ke dalam rapat pleno Kadin Provinsi. Soal bagaimana sikap resmi Kadin Provinsi itu baru akan diputuskan di rapat pleno Kadin yang akan kita laksanakan dalam waktu dekat,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Keorganisasian dan Keanggotaan Kadin Provinsi Kepri, Alfan Suheiri kepada Batam Pos usai pertemuan, Rabu (25/7).


Keputusan rapat pleno akan disampaikan ke Dewan Pengupahan, Disnaker Provinsi, Walikota Batam dan Gubernur Provinsi Kepri.


”Saat ini, kita masih menunggu utusan Kadin yang duduk di Dewan Pengupahan Provinsi tiba di Batam dulu. Begitu utusan Kadin tiba maka kita akan menggelar rapat pleno,” paparnya. (hda)

Tujuh Bulan Penderitaan Karyawan PT Livatech

Tujuh Bulan Penderitaan Karyawan PT Livatech PDF Cetak E-mail
Kamis, 26 Juli 2007
Rumah Disegel, Janji Pejabat Hanya Isapan Jempol
BATAM (BP)
- Tanggal 29 Juli 2007, genap tujuh bulan PT Livatech Elektronik di Kara Industrial Park, Batam Centre tutup. Lalu bagaimana kondisi 1.300 karyawannya saat ini?

JARUM jam tepat menunjukkan pukul 12.00 WIB. Dengan bermandikan keringat, puluhan karyawan yang baru saja bejalan kaki ke depan Kantor Wali Kota Batam untuk memperjuangkan nasib mereka, kembali ke markasnya, Gedung Livatech di Kawasan Industri Kara, Batam Centre.


Sambil mengelap keringat, mereka antri di dapur umum yang dipersiapkan oleh rekan-rekan mereka. Periuk nasi berkapasitas kurang lebih 5 kilogram yang bagian luarnya hitam pekat mengepulkan asap ketika tutupnya dibuka oleh karyawan lainnya yang Rabu siang (25/7) itu, bertugas di dapur umum. Sementara karyawan lainnya mempersiapkan lauk pauk berupa potongan kubis, potongan mentimun, tempe, dan ayam goreng yang dipotong dalam ukuran kecil.


Beberapa karyawan wanita sambil menggendong buah hatinya, antri mengambil makan siang di dapur umum depan perusahaan itu. Balita-balita mereka siang itu hanya diberikan potongan mentimum, untuk dikunyah. Maklumlah, orangtua mereka tak sanggup lagi membelikan makanan bayi, karena sudah tujuh bulan tidak bergaji.


”Tolonglah bantu suarakan nasib kami ini kepada pemerintah. Inilah kondisi kami sekarang, hanya makan seadanya untuk bisa bertahan hidup,” teriak seorang karyawan wanita, sambil mengambil potongan mentimun di lantai, yang jatuh dari mulut bayinya, dengan mata berkaca-kaca.


Teriakan sang karyawan wanita ini, spontan diikuti oleh karyawan lainnya. Sambil memegang piring plastik di tengah antrian, mereka terus meminta, agar nasib mereka diperjuangkan. Mereka minta Pemko Batam dan DPRD Batam peduli.


Pemandangan memilukan itu tak hanya terlihat di dapur umum. Juga terlihat di depan pintu masuk perusahaan itu. Puluhan karyawan yang saat itu giliran hadir, mencoba menghibur bayi-bayi mereka. Sesekali disuapkan nasi putih tanpa lauk ke mulut bayi mereka. Ada bayi yang berontak, ada juga yang mencoba menguyah lalu dimuntahkan kembali.


Satu-satunya hiburan, hanyalah sebuah televisi berukuran 29 inchi berwarna silver yang masih menyala di depan pintu masuk perusahaan ini. Meski sesekali tersenyum menatap adegan di layar kaca itu, namun tak sedikit diantara mereka tatapannya terlihat hampa, seperti tiada harapan lagi. Di balik meja reception, juga terlihat dua wanita sedang menikmati makan siang dengan menu nasi putih, sambel, dan potongan kecil ayam goreng. Sama sekali tak ada sayur, sehingga terlihat sulit untuk menelan. Namun perlahan, mereka mencoba menghabiskan nasi dan lauk yang seadanya itu, agar cacing dalam perut mereka tidak berontak.


Di depan meja reseption, sebuah ruangan kecil berukuran 1,5 x 2 meter tampak sesak dengan tas dan beberapa kotak. Seorang wanita tampak lelap dalam tidur siangnya. ”Di sinilah kami tidur. Kami sudah tak sanggup lagi bayar kontrakan, jadi mau tak mau terpaksa kami tidur di sini, mau pulang kampung ongkos tak ada,” ujar Marni dan Mega, sambil mencoba menelan nasi dan lauk pauk dalam remasan jemarinya.


Nasib lebih tragis dialami oleh Eva. Ibu satu anak yang sudah 10 tahun bekerja di Livatech ini, sudah mengirim anaknya ke orangtuanya di kampung karena tak sanggup lagi membiayainya. Sepeda motor suaminya sudah di tarik dealer, rumahnya juga tinggal menghitung hari, akan disegel bank karena sudah beberapa bulan nunggak. ”Mau buka usaha tak ada modal, cari kerja sudah sulit,” ujarnya.


Japatar Purba yang sudah 13 tahun bekerja di Livatech juga bernasib sama. Istri dan ketiga anaknya terpaksa ia pulangkan ke kampung halamannya di Medan, karena beban hidup yang begitu besar menghimpit, setelah tujuh bulan tak bergaji. ”Saya tetap bertahan karena menanti hak kami yang belum dibayarkan,” ujarnya.


Penderitaan karyawan Livatech kian menjadi-jadi, setelah beberapa perusahaan menolak mempekerjakan mereka.


Pengurus SPMI Livatech Dody Irawan mengungkapkan, alasan beberapa perusahaan menolak eks karyawan Livatech karena Livatech masih bermasalah. Selain itu, ada juga yang menolak dengan alasan tidak ada bukti pengalaman dan kebanyakan sudah berumur dan berkeluarga, sementara beberapa perusahaan menginginkan karyawan yang masih fresh graduate.


”Bagaimana mungkin ada surat pengalaman, kalau Livatech tutup. Padahal kami ini rata-rata sudah lama bekerja, ada yang sudah di atas 10 tahun,” ujar Doddy.


Ia juga memaparkan, sebelumnya pihak Disnaker telah menjanjikan akan membantu karyawan Livatech dalam mencari pekerjaan baru, namun tidak ada realisasi. Kalaupun sudah ada yang bekerja saat ini, itu usaha pribadi masing-masing. ”Saya masih ingat janji Emrizal, karyawan Livatech jadi prioritas, tapi apa, semuanya nihil,” katanya.


Tak hanya itu, Janji Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, bahwa karyawan Livatech bisa dilayani di puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah secara gratis, dengan cukup menunjukkan badge (tanda pengenal karyawan Livatech), ternyata hanya tinggal janji. Saat karyawan Livatech ini berobat, masih dimintai kartu Askeskin, sementara mereka bukan peserta Askeskin.


Komisi IV DPRD Kota Batam yang membidangi perburuhan, yang sejatinya juga bisa memperjuankan nasib mereka, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka sibuk dengan kunjungan kerja (kunker) dengan membawa bendera ketenagakerjaan, padahal hasilnya tidak jelas. ”Kami berharap pemerintah membantu kami, agar persoalan ini cepat selesai dan kami bisa mendapatkan hak kami. Jangan hanya janji-janji saja,” pinta Dody.


Mereka juga mendesak PHI Tanjungpinang untuk segera mengambil langkah-langkah, agar apa yang menjadi hak karyawan Livatech segera di dapatkan. Pekembangan terakhir kasus Livatech ini adalah, pesangon dua kali ketentuan, gaji Januari dan Februari masing-masing 50 persen. Saat ini tahapannya sudah sampai pada teguran terhadap manajemen Livatech untuk segera membayarkan hak karyawan itu.
Teguran atau disebut juga anmaning itu, sejatinya hanya delapan hari, namun saat ini anmaining pertama sudah lebih dari satu bulan. Anmaining kedua segera meyusul. ”Tuntutan kami hanya satu. Secepatnya apa hak kami, bisa kami kami peroleh. Kami berharap paling lambat sebelum bulan puasa,” pinta Dody dan karyawan Livatech lainnya.


”Tahun ini sangat menyedihkan, biasanya kalau sudah bulan Juli atau jelang puasa, kami sudah hitung-hitung THR (tunjangan hari raya) yang bakal kami dapatkan. Tapi sekarang, apa yang bisa kami hitung. Makan saja susah, untung masing ada bantuan dari PUK SPMI lainnya,” ujar Marni, menambahkan dengan mata berkaca-kaca.


Kesengsaraan karyawan Livatech ini, sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Komisi IV DPRD Kota Batam. Komisi yang sejatinya bisa membantu memperjuangkan nasib mereka, malah saat ini sibuk dengan kunker. Padahal Ranperda Ketenagakerjaan sudah ditolak dalam sidang Paripurna DPRD Kota Batam. Jika mekanisme membolehkan, jauh lebih baik anggaran ratusan juta untuk Ranperda Ketenagakerjaan itu dipergunakan untuk menbantu korban PHK jika memang pengambil kebijakan di Batam ini mau bijak. (nur)

Pekerja Desak Gubernur

Pekerja Desak Gubernur PDF Cetak E-mail
Kamis, 26 Juli 2007
BATAM (BP) - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Federasi Serikat Pekerja Pariwisata, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Batam dan DPC SBSI Kamiparho Kota Batam mendesak Gubernur Kepri Ismeth Abdullah menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMS) Pariwisata senilai Rp903 ribu. Selain mendesak, mereka juga mengancam akan menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sekupang dan Tanjungpinang, Senin (30/7) mendatang.

Ketua DPC Federasi Serikat Pekerja Pariwisata SPSI Kota Batam, Immanuel D Purba mengatakan, tak ada lagi alasan bagi Gubernur tak menetapkan UMS secepatnya. Aksi unjuk rasa, katanya tetap dilakukan dan pihaknya sudah mengirim surat izin ke Poltabes Barelang, Rabu (25/7) kemarin tentang pemberitahuan aksi.


”Aksi kami lakukan di Kantor Gubernur Sekupang. Teman-teman dari SBSI Kamiparho pada hari dan jam yang sama juga demo di Kantor Gubernur Tanjungpinang. Gubernur tak bisa lari. Kami sudah lelah menunggu begitu lama UMS ditetapkan,” kata Dijelaskannya, dalam pertemuan antara Dewan Pengupahan Provinsi Kepri yang dipimpin Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepri Azman Taufik di Kantor Wali Kota Batam dengan pihak serikat pekerja dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam, hasilnya sudah jelas.

Azman Taufik sebagai Ketua Dewan Pengupahan melaporkan hasil pertemuan ke Gubernur Kepri terkait usulan angka Rp903 ribu yang sebelumnya dibahas Dewan Pengupahan Provinsi Kepri.


”Boleh-boleh saja di media PHRI membantah soal kesepakatan angka UMS. Faktanya, UMS bolanya sudah ada di tangan gubernur untuk ditetapkan. Tanya saja Disnaker Batam atau Azman Taufik tentang hasil pertemuan membahas UMS di kantor Wali Kota Batam,” ujarnya.


Immanuel menegaskan, UMS Pariwisata sudah ada sejak tahun 2002 dan baru tahun ini pihak PHRI enggan membahasnya. ”Apa masalahnya. Kalau keberatan UMS, protes saja ke Menteri Tenaga Kerja. Masak UMS mau dihapuskan, lapornya sama gubernur. Harusnya pengurus PHRI paham mekanisme dan dasar-dasar pembahasan UMS,” tukasnya.


Sementara, Ketua DPC SBSI Kamiparho Batam, Ali menegaskan, DPC SPSI Batam dan DPC SBSI Kota Batam telah punya komitmen menolak pembahasan UMK Batam tahun 2008 dan Upah Minimum Provinsi (UMP) Kepri tahun 2008, kalau UMS Pariwisata tak ditetapkan. (dea)

PHRI Belum Setujui UMS Rp903.000

PHRI Belum Setujui UMS Rp903.000 PDF Cetak E-mail
Rabu, 25 Juli 2007
BATAM (BP) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam membantah telah menyepakati Upah Minimum Sektor (UMS) Pariwisata sebesar Rp903.000, seperti yang diungkapkan oleh Dewan Pengupahan Provinsi Ade Nasution di sejumlah media terbitan Batam.

”Tidak benar PHRI sepakat, sama sekali tidak ada kesepakatan. Jadi kalau ada yang mengatakan PHRI sepakat, itu menyesatkan,” ujar Wakil Ketua III PHRI Kota Batam Lody Anjes di Kantor PHRI Kota Batam, Pelita, Selasa (24/7).


General Manager Panorama Regency Hotel ini memaparkan, pertemuan Senin (23/7) kemarin di Kantor Wali Kota Batam dengan pihak Disnaker Provinsi Kepri dan Kota Batam dan perwakilan serikat buruh, sama sekali tidak ada kesepakatan.


Bahkan, utusan PHRI saat itu antara lain, Lody Anjes, Sigit, Helli, Yanto, Edy, Budi dan beberapa pengurus PHRI lainnya. Tapi mereka memilih walk out (keluar) dari pertemuan itu, setelah PHRI ribut dengan pengurus Kadin Provinsi Kepri Raja Mustaqim, yang saat itu hadir atas nama mewakili pengusaha.


Namun sebelum keluar ruang pertemuan, perwakilah PHRI sempat memaparkan alasan mereka tidak hadir, setelah tujuh kali disurati. PHRI, kata Lody, bukan membangkang, tapi pada saat disurati, PHRI saat itu dalam keadaan vakum (sejak Februari 2006). Atas inisiatif Ketua Promotion Tourism Board (PTB) Rahman Usman, PHRI aktif kembali pada Maret 2007 dengan kepengurusan baru.


Selain itu, ketidakhadiran PHRI saat diundang untuk membahas UMS, juga disebabkan belum adanya surat balasan dari Gubernur, terhadap surat yang dikirimkan oleh PHRI pada Gubernur Provinsi Kepri Nomor 002/PHRI/BTM/2007 tertanggal 13 Maret 2007, yang isinya, PHRI tidak akan mau membahas UMS dengan alasan antara lain, daerah wisata lainnya di Indonesia tidak mengenal adanya UMS di bidang Pariwisata seperti Bali, Yogyakarta dan kota lainnya.


PHRI juga menilai, penerapan UMS Pariwisata di Kota Batam diskriminatif, karena kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Kepri tidak menerapkan UMS. Yang paling jelas diskriminasinya, kata Lody, pembahasan UMS hanya PHRI saja yang dikejar-kejar, sementara bicara soal Sektor Pariwisata, tidak hanya PHRI, ada ASITA, AJAHIB, Gelper dan lainnya yang sama sekali tidak pernah dilibatkan.


”Kami sudah pernah minta ke Wali Kota Batam, agar dipertemukan semua sektor Pariwisata di Batam, namun tidak ada realisasi dari Wali Kota,”’ ungkap Lody.


Alasan lainnya, upah yang diterima oleh karyawan yang bekerja di sektor pariwisata, khususnya perhotelan, telah memenuhi standar UMK dan masih banyak mendapatkan berbagai tunjangan (tergantung kebijakan masing-masing hotel, red) antara lain, pakaian seragam, perumahan atau transportasi, makan, Jamsostek, pendidikan/training, tambahan pendapatan dari service charge dan beragam pendapatan lainnya, sehingga total upahnya relatif lebih tinggi.


Selain itu, persoalan UMS sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Permenaker Nomor Per-01/MEN/1999 tentang UMS Jo Keputusan Menaker Nomor: Kep 226/MEN/2000 bahwa penetapan UMS harus melalui Bipartit (buruh dan pengusaha).


Sekretaris PHRI Kota Batam Sigit juga mengungkapkan, pada pertemuan Senin lalu di Pemko Batam, PHRI dipaksa harus sepakati nilai UMS saat itu juga. Bahkan PHRI diancam, jika tidak sepakat, mereka akan tetap mengambil keputusan meski tanpa persetujuan PHRI. Juga mengancam akan mengerahkan buruh untuk demo yang efeknya akan dirasakan oleh pengusaha.


”Saya menilai ini pemikiran goblok, mau demo silahkan saja, tapi bukan hanya pengusaha yang merasakan dampaknya, pekerja sektor pariwisata juga, jadi jangan main ancam, kami tidak takut,” ujar Sigit dengan nada tinggi.


Lody kembali menambahkan, disaat PHRI diserang habis-habisan pada pertemuan itu, termasuk oleh Raja Mustaqim yang saat itu mengaku perwakilan pengusaha (kadin Provinsi Kepri), tidak satupun dari pihak pemerintah, baik itu Pemko Batam, Pemprov Kepri yang bereaksi, mereka hanya diam. Karena dipojokkan dan berbelit-belit, akhirnya pada pertemuan itu, pengurus PHRI memilih keluar.


”Kami ditodong agar menerima UMS itu, kami tidak mau, jadi kami keluar. Eh, malah dibilangnya kami sepakati nilai UMS. Sekali lagi, PHRI tidak pernah sepakat, kami minta pelaku pariwisata di Kota Batam, khususnya Perhotelan, tidak terprovokasi dan jangan menerapkan keputusan sepihak itu,” pinta Lody.


Sementara itu, Ketua PTB Rahman Usman mengatakan, sektor pariwisata bukan hanya PHRI, ada ASITA, AJAHIB, Gelper, SPA, Golf dan organisasi lainnya yang bergerak di sektor pariwisata. ”Harusnya semua dilibatkan, kalau memang mau bahas UMS dan harus berlakun nasional, jangan hanya Batam. Kalau hanya PHRI yang dipaksa, itu sama saja diskriminatif,’ ujarnya.


Sementara itu, selain sepakat menolak keputusan sepihak UMS Rp903 ribu (lima persen dari UMK Rp860 ribu), PHRI juga akan menemui Ketua Kadin Provinsi Kepri John Kennedy, guna meminta pertanggungjawaban, atas sikap arogansi yang ditunjukkan oleh anggotanya Raja Mustaqim terhadap PHRI Kota Batam.


PHRI juga menilai Pemko Batam dan Provinsi Kepri tidak bijak. Sejatinya, sebagai wasit yang baik, bisa mendudukkan persoalan UMS ini secara proporsional dengan melibatkan semua kalangan. Tapi malah terkesan diam dan membiarkan PHRI tertekan. ”Lagian apa sih yang telah diberikan oleh Pemko ke kita, padahal, kita sudah menjadi penyumbang pajak di Batam ini,” ujar pengurus PHRI lainnya yang hadir.


Pada saat memberikan keterangan, selain Sigit (GM Mercure) dan Lody (GM Panorama Regency Hotel), juga hadir Anto (GM Harmoni Hotel), Helli (Asisten GM Planet Holiday), Yanto W (GM Novotel), Edy (GM Vista Hotel), Budi (GM Grand Mutiara Hotel), Anis (GM Batam View), Angelina (Raflesia Hotel) dan sejumlah petinggi hotel di Batam lainnya. (nur)

UMS Pariwisata Balik Lagi ke Gubernur

UMS Pariwisata Balik Lagi ke Gubernur PDF Cetak E-mail
Selasa, 24 Juli 2007
Dewan Pengupahan Bertemu PHRI
BATAM (BP)
- Dewan Pengupahan Kepri akhirnya kembali merekomendasikan Upah Minimum Sektoral (UMS) Pariwisata Batam Rp903 ribu atau lima persen di atas UMK Rp860 ribu, ke Gubernur Kepri. Besaran UMS itu diajukan setelah mereka bertemu dengan kalangan pengusaha dari Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Batam, kemarin.

”Pada prinsipnya PHRI setuju. Mereka menyerahkan angka UMS ke Dewan Pengupahan, karena itu kami ajukan ke gubernur untuk diputuskan. Besarnya Rp903 ribu,” kata Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kepri, Ade P Nasution.


Dewan Pengupahan sendiri, Juni lalu, sudah pernah mengajukan UMS Pariwisata Batam ke gubernur. Namun, dikembalikan lagi. ”Itu karena gubernur menginginkan ada justifikasi, ada dasar yang kuat sebelum ia meneken SK UMS. Sekarang, kan kita sudah dengar langsung dari PHRI-nya,” tukasnya.


Pertemuan Dewan Pengupahan yang dipimpin Ketua Dewan Pengupahan Kepri, Azman Taufik di lantai IV Kantor Wali Kota Batam, kemarin, dihadiri oleh Kadisnaker Batam, Pirma Marpaung dan sejumlah pengurus PHRI Batam. Di antaranya, General Manager Hotel Panorama Regency, Lody Anjes dan lainnya.
Dalam pertemuan itu, kata Ade, PHRI menginginkan agar tak hanya PHRI saja yang diajak membahas UMS Pariwisata itu. PHRI menginginkan agar asosiasi lain, seperti Ajahib, Asita dan lainnya juga dilibatkan dalam pembahasan UMS.


Kalangan pengusaha hotel itu, tak mengikuti pertemuan sampai selesai. Mereka keluar di tengah pembahasan dengan Dewan Pengupahan Kepri. ”Mereka keluar karena menganggap pembahasan bertele-tele dan tak tepat waktu. Tapi, mereka sudah menyerahkan soal UMS ini ke Dewan Pengupahan,” tukas Ade. (med)

Nasib Karyawan Livatech Terabaikan

Nasib Karyawan Livatech Terabaikan PDF Cetak E-mail
Jumat, 20 Juli 2007
BATAM (BP) - Sejak hengkangnya manajemen PT Livatech Elektronik Indonesia awal Februari 2007 lalu, sampai saat ini belum ada kepastian nasib 1.370 karyawannya. Ini menandakan tidak adanya kepedulian pemerintah baik Otorita Batam, Pemko Batam, DPRD Kota Batam terhadap nasib pekerja yang sampai saat ini belum menerima pesangon.

Hal ini disampaikan koordinator aksi damai karyawan Livatech, Parmo, Kamis (19/7) di lokasi perusahaan. Aksi demo yang diikuti sekitar 150 karyawan ini, dilakukan mulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 19.00 WIB di dua lokasi yakni persimpangan lampu merah Masjid Raya Batam Centre dan Bundaran OB.


”Selama enam bulan nasib kami tidak jelas, itu bukanlah waktu yang singkat. Ini menandakan pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan kami. Mereka sepertinya tidak peduli akan nasib 1.370 karyawan yang tidak mendapatkan hak mereka,” jelasnya.


Parmo yang didampingi beberapa karyawan serta Ketua PUH PT Livatech, Jon Mauritz menganggap pemerintah lebih mempedulikan nasib investor ketimbang nasib rakyat mereka. ”Selama ini pemerintah hanya bisa membuat janji tinggal janji tanpa ada realisasi. Kemana mereka selama enam bulan ini. Kalau memang mereka berpihak kepada rakyat kecil, seharusnya persoalan ini sudah selesai dan kami telah mendapatkan hak kami,” ujarnya.


Mereka menilai pemerintah, merasa senang atas penderitaan yang dialami ribuan karyawan Livatech, sehingga mereka menjadi menderita di negeri sendiri. ”Nasib kami lebih malang dari TKI yang tidak dibayar gaji oleh majikan. Kalau di Malaysia atau Singapura sana hanya dialami beberapa orang. Tapi di sini, di depan mata ribuan pekerja tidak mendapatkan hak mereka karena ketidakpedulian pemerintah. Di mana rasa keadilan dari pemerintah,” tegasnya.


Padahal karyawan selama ini cukup bersifat sopan dan santun. Dimana dalam memperjuangkan hak-hak mereka tidak pernah melakukan tindakan yang anarkis. Bahkan secara bergantian melakukan penjagaan asset perusahaan. Dengan harapan permasalah ini segera terselesaikan.


Dalam demo yang dilakukan, mereka menyampaikan pernyataan sikap menuntut komitmen pemimpin Batam menyelesaikan seluruh permasalah yang dihadapi karyawan akibat larinya pemilik perusahaan. Mereka juga meminta Pemko Batam pro aktif mengawal, mempercepat dan memotong hambatan-hambatan birokrasi dalam persoalan ini.


Menanggapi demo mantan karyawan PT Livatech, Pemerintah Kota (Pemko) Batam melalui Kabag Humas, Yusfa Hendri mengatakan, Wali Kota Batam telah menyurati Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, untuk menghadirkan kedua pemilik perusahaan tersebut. ”Surat tersebut dilayangkan bulan Maret lalu. Namun sampai saat ini, belum ada jawaban,” ujarnya.


Dijelaskannya juga, Pemko Batam sudah berusaha melakukan mediasi antara karyawan dengan pemilik perusahaan, tapi buntu. ”Masalah ini harus menunggu keputusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI),” tukas. (bni/cr8)

PHRI Tolak Bahas Upah Sektor Pariwisata

PHRI Tolak Bahas Upah Sektor Pariwisata PDF Cetak E-mail
Sabtu, 14 Juli 2007
BATAM (BP) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam meminta pemerintah atau serikat pekerja tak memaksa PHRI dalam membahas Upah Minimum Sektor (UMS) Pariwisata tahun 2007. PHRI baru akan membahas UMS, asalkan upah di bidang lain, seperti elektronik juga dibahas. Sedangkan hotel-hotel yang sudah menaikkan gaji karyawannya, tak ada kaitannya dengan UMS.

Sikap tersebut disampaikan PHRI Batam menyikapi semakin tak jelasnya permasalahan UMS, Jumat (13/7) di Hotel Panorama Regency. Pernyataan sikap tersebut dihadiri sejumlah pengurus PHRI Batam, seperti Sekretaris PHRI Batam Sigit Budiarso (General Manager Hotel Mecure), Wakil Ketua PHRI Lody Anjes (GM Panorama Regency), Budi (GM Grand Mutiara), Toto (HRM Hotel Novotel), Anto (GM Hotel Harmoni), Eldesi (HRM Holiday Inn) dan sejumlah anggota lain.


Sigit mengatakan, PHRI bukannya tak mau membahas UMS, tapi harusnya pemerintah juga mendorong sektor lain membahas UMS. “Kok PHRI terus yang dikejar-kejar. Saya tanya pengurus Asita dan Ajahib, mereka malah tenang-tenang saja. Argumen lain kita, di kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kepri, hanya Batam yang dipaksa ikut bahas UMS. Lainnya tak ada, boleh dicek itu,” ujarnya.


Lody Anjes menambahkan, pembahasan UMS dilakukan bipartit dan tak ada landasan hukum Dewan Pengupahan Provinsi Kepri mengusulkan angka dan ditetapkan Gubernur Kepri. “Kenapa masalah UMS terjadi setiap tahun. Alasannya, pemerintah memaksa bahas UMS. Bagi karyawan hotel, UMS tak penting, karena pendapatan lain, seperti service charge lebih besar,” katanya.


Pada kesempatan itu, PHRI meluruskan bahwa tak satu pun hotel yang menerapkan UMS. Human Resources Manager (HRM) Holiday Inn, Eldesi mengatakan, kenaikan gaji karyawan Holiday Inn terjadi setiap tahun dan tak terpengaruh dengan permasalahan UMS. “Kalau gaji tahun 2007 memang naik. Saya tegaskan ini tak ada kaitan dengan UMS,” kata Eldesi.


Sekretaris PHRI Sigit Budiarso mengatakan, pihaknya surat mengirim surat ke Gubernur Kepri Ismeth Abdullah dan Wali Kota Batam Ahmad Dahlan. Surat nomor 014/PHRI/BTM/2007 tertanggal 28 Mei 2007 intinya, PHRI meminta penghapusan UMS pariwisata. Surat diteken Ketua PHRI Zukriansyah dan Sekretaris I PHRI Yonto Wongso.


Di tempat terpisah, Sekretaris DPC SP Pariwisata SPSI Kota Batam Subri Wijonarko kepada Batam Pos mengatakan, PHRI Batam jangan berani adu argumen melalui media. Harusnya kata Subri, PHRI duduk bersama dengan serikat pekerja dalam membahas masalah ini. “Kalau tak mau bahas UMS, apa argumennya. Masalah UMS ada aturannya, kalau pembahasan UMS saja tak hadir, bagaimana ma-salah ini selesai, “ ujarnya.


Soal sejumlah hotel sudah menerapkan upah baru, Subri menyebutkan, data yang disampaikan Pimpinan Unit Kerja (PUK) SPSI sejumlah hotel bisa dipertanggungjawabkan. “Boleh saja PHRI protes, anggota kita punya datanya. Sejumlah hotel, sudah menerapkan upah baru,” katanya.


Mengenai hal ini Pemprov Kepri mengirim surat ke Wali Kota pada 29 Juni 2007 lalu diteken Sekretaris Daerah Pemprov Kepri Eddy Wijaya. Wako diminta memfasilitasi pertemuan PHRI dan serikat pekerja.(dea/ros)

UMS Pariwisata Menggantung

UMS Pariwisata Menggantung PDF Cetak E-mail
Senin, 09 Juli 2007
BATAM (BP) - Angka Upah Minimum Sektoral (UMS) Pariwisata Kota Batam 2007 telah diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi Kepri sebesar Rp903 ribu atau lima persen di atas Upah Minimum Kota (UMK) Batam 2007, sebesar Rp860 ribu, sekitar sebulan lalu. Namun, hingga sekarang Gubernur Kepri belum juga menetapkan UMS tersebut, malah melemparnya ke Pemko Batam. Padahal, tahun 2007 sudah memasuki pertengahan.

Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Pariwisata (SP-Par) SPSI Kota Batam, Subri Wijonarko mengatakan, Gubernur Kepri dan Pemko Batam tak ada punya itikad baik dalam penetapan UMS Pariwisata Batam 2007. ”Angkanya kan sudah diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi.


Kan tinggal ditetapkan, buat apa lagi dilempar ke Pemko Batam. Kalau usulan Dewan Pengupahan Provinsi Kepri tak didengar suaranya, buat apa dibentuk. Di sana semua unsur ada, termasuk pemerintah,” kata Subri, didampingi sejumlah Pimpinan Unit Kerja (PUK) SPSI sejumlah hotel, Ahad (8/7) di kantornya.


Menurut Subri, dari media pihaknya mendapat informasi Wali Kota Batam Ahmad Dahlan kembali mengundang pelaku pariwisata, khususnya yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam dalam membahas UMS ini, Senin (9/7) hari ini. ”Pembahasan saja tak sekali pun mereka datang. Jadi apa lagi mengundang mereka. Diundang saja tak pernah hadir, berarti tak ada itikad baik,” ujar Subri.


Ketua PUK SPSI Hotel Harmoni Imam menambahkan, pihaknya menunggu legalitas pemberlakuan UMS Pariwisata Kota Batam. Pasalnya, sejumlah hotel sudah ada kesepakatan antara manajemen dan karyawannya pemberlakuan UMS. “Kalau ada SK Gubernur Kepri, manajemen punya dasar menerapkan UMS. Tak hanya hotel-hotel besar, hotel melati juga sudah menyetujui UMS,” kata Imam.


Menurut Subri Wijonarko, kalau permasalahan UMS Pariwisata Batam tahun ini tak dituntaskan, permasalahan ini akan berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Gubernur, katanya tak perlu takut digugat PHRI jika UMS ditetapkan. Pasalnya, usulan angka Rp903 ribu dari Dewan Pengupahan Provinsi Kepri.
”Dalam minggu ini kita tetapkan, langkah SPSI menyikapi tak tuntasnya penetapan UMS. Besar kemungkinan mogok massal, tinggal menunggu rapat pleno. Ini bukan ancaman, tapi kami hanya memperjuangkan nasib pekerja pariwisata,” tukasnya.


Ketua PHRI Zukriansyah kepada Batam Pos beberapa waktu menyebutkan, pihaknya tak menghadiri pembahasan UMS karena dinilai bukan kewajiban, berbeda dengan UMK. “UMS kan kesepakatan bipartit. Kalau PHRI keberatan, berarti tak jadi. Kenapa harus ribut terus masalah UMS. Bagi pekerja hotel atau tempat hiburan, pendapatan terbesar mereka bukan dari gaji, tapi service charge dan uang tip,” ujar JJ.
Pekan lalu, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan mengatakan, pihaknya Senin (8/7) ini mengundang pengurus PHRI untuk menuntaskan UMS. Ia sendiri menolak dianggap tak mampu dalam menangani permasalahan UMS Pariwisata Batam itu.


Menurut dia, UMS dibicarakan di tingkat bipartit yang hanya melibatkan pengusaha dan pekerja. Pemko, lanjutnya, sudah berkali-kali menghadirkan pengusaha, namun mereka tak pernah datang sehingga tak pernah ada kesepakatan dalam menetapkan besaran UMS Pariwisata Batam. (dea)

Gedung CBP Terancam Dilelang Paksa

Gedung CBP Terancam Dilelang Paksa PDF Cetak E-mail
Senin, 09 Juli 2007
BATAM (BP) - Gedung Citra Buana Prakarsa (CBP) yang saat ini disewa oleh PT Giken Precicion Indonesia di Lot II Kawasan Industri Citra Buana Park II Batuampar, terancam dilelang paksa jika pihak CBP tidak memberikan izin tim PHI-Kimpras untuk membuat estimasi harga gedung tersebut.

”Mau tak mau lelang paksa tanpa limit harga. Kami saja yang tentukan sendiri perkiraan harga gedung itu,” ujar Panitera Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Tanjungpinang Syafri, kepada Batam Pos, Ahad (8/7).


Kemungkinan lelang paksa ini dilakukan, setelah Jumat (22/6) lalu, PHI bersama tim dari Kimpraswil Kota Batam hendak melakukan pengecekan fisik gedung untuk menentukan platform harga gedung CBP itu. Namun upaya itu gagal, setelah satpam PT Giken tidak memperkenankan tim ini masuk ke areal gedung, sebelum mengantongi izin dari CBP.

PHI bersama kuasa hukum mantan satpam CBP yang di PHK dan berselisih dengan CBP, sudah mendatangi manajmen CBP hari itu, namun tidak berhasil menjumpai pimpinan CBP Jong Hoa. Mereka akhirnya kembali dengan tangan hampa.


Syafri berharap, manajmen CBP bersikap kooperatif, sehingga PHI bersama tim ahli dari Dinas Pemukiman dan Prasarana (Kimpras) Kota Batam, bisa melakukan penilaian (platform) harga gedung tersebut secara objektif, sesuai dengan kondisi fisik bangunan. Jika tidak, lelang paksa dilakukan tanpa limit atau limit harga ditentukan sendiri oleh PHI.


Ditanya, apakah langkah itu tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada? Syafri mengatakan, itu dibenarkan, jika memang manajmen CBP tetap tidak mau bersikap kooperatif.


Penentuan harga gedung yang akan dilelang, sebenarnya tidak terlalu rumit. Dalam perbincangan Batam Pos dengan ahli hitung aset dari Kimpras Kota Batam Cahaya Murni pada Jumat (22/6) lalu, cukup mencermati secara detail komponan bangunan, mulai dari dinding, atap, plavon, keramin yang digunakan, rangka struktur bangunan dan komponen lainnya, termasuk kamar mandi. Kemudian mencermati apakah ada kerusakan, seberapa besar kerusakan dan aspek lainnya. Penyusutannya setiap tahunnya sebesar dua persen.


Dari hasil pengamatan secara langsung itu, baru bisa ditetapkan berapa nilai gedung, dengan mengurangkan harga awal gedung dengan penyusutan yang terjadi, termasuk kerusakan yang terjadi. Setelah itu, barulah dilakukan lelang terbuka sesuai penetapan eksekusi PHI Tanjungpinang nomor 05/Pen.G/2006/PHLPN.TPI yang dikeluarkan 25 Mei 2007, terhadap gedung milik CBP. Penetapan tersebut ditandatangani ketuanya Hidayat SH.


Ketetapan lelang ini diterbitkan setelah manajemen PT Citra Buana tidak bersedia melaksanakan putusan sela Pengadilan Hubungan Industrial yang meminta mereka membayar tuntutan mantan satpam tersebut, berupa kelebihan uang cuti tahunan sebesar Rp19.682.400, upah proses Rp95.440.000, dan upah kelebihan jam lembur Rp340.559.133. Total yang harus dibayar Citra Buana sebesar Rp455.681.533. Sisa hasil lelang gedung CBP nantinya, kata Syafri akan tetap dikembalikan ke CBP. (nur)

Pemko Dinilai Tak Mampu Bahas UMS

Pemko Dinilai Tak Mampu Bahas UMS PDF Cetak E-mail
Jumat, 06 Juli 2007
BATAM (BP) - Anggota Dewan Pengupahan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Zamzami A Karim mennilai Pemerintah Kota (Pemko) Batam tidak mampu menyelesaikan Upah Minimum Sektoral (UMS), sehingga harus menyerahkan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri.

Hal itu, kata Zamzami, menandakan Pemko Batam tidak mau bekerja keras dalam menuntaskan masalah pengupahan. ”Masak menetapkan upah saja, Pemko tidak mampu. Padahal dengan semangat otonomi daerah, Pemko memiliki wewenang yang penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sehingga tidak perlu melibatkan Pemprov untuk menyelesaikan masalah upah,” ujar Zamzami A Karim kepada Batam Pos, kemarin.


Langkah Pemko Batam, lanjut dia, yang selalu menyerahkan masalah upah ke Pemprov itu sangat disayangkan. Padahal Batam akan menjadi kawasan ekonomi khusus, yang tentunya masalah upah itu akan menjadi sangat sensitif.


”Dewan pengupahan provinsi belum membahas dan tak akan membahas jika Pemko Batam belum bersikap tegas mencari jalan keluar permasalahan upah di Batam. Kita tidak bisa bertindak tanpa ada rekomendasi dari Pemko mengenai angka yang ideal,” jelas Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (Stisipol) Tanjungpinang itu, kemarin.


Zamzami melanjutkan, Pemko harus mencari cara untuk bisa menyelesaikan masalah UMS ini. Jangan ada masalah sedikit langsung larinya ke Pemprov. ”Itukan namanya Pemko manja dan terlalu mudah menyerah. Karena aturannya sudah jelas dalam penetapan UMS itu. Pemko bisa berbagai cara agar mencari angka kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Jalan keluarnya pasti ada, jika Pemko berusaha dengan sungguh-sungguh menyelesaikan masalah UMS ini. Sehingga pekerja tak lagi demo di Pemprov,” kata Zamzami.


Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Kepri, Azman Taufik mengatakan, berdasarkan ketentuan Permenaker Nomor: Per-01/MEN/1999 jo Kemenkertrasn Nomor: Kep 226/MEN/2000 tentang Upah Minimum, Pasal 5 huruf b; Upah Minimum Sektoral (UMS) Kabupaten/Kota harus lebih besar sekurangnya-kurangnya 5 persen dari Upah Minimum Kota (UMK).


Dan berdasarkan Pasal 10; usulan penetapan UMS sektoral provinsi dan UMS kota, dirundingkan dan disepakati oleh asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh. Oleh karena itu, Pemko Batam harus tegas mencari jalan keluar dengan mempertemukan kedua belah pihak. Dalam hal ini Persatuan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI)Batam dan Serikat buruh dipertemukan,” jelas Azman.


Pemko, lanjut Azman, kita untuk berusaha keras agar kedua belah pihak yang bisa berunding kembali mencari jalan tengah. Jangan terus-terus menyerahkan ke Pemprov. ”Wali kota sebagai kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah ini,” imbuhnya.

Wako Ingin Pertemukan PHRI-Pekerja
Sementara itu, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan bertekad menghadirkan para pengusaha pariwisata yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) agar UMS Pariwisata Batam, segera bisa ditetapkan.


Hal itu diungkapkan Dahlan, kemarin, menanggapi ancaman mogok kerja para pekerja pariwisata yang berunjuk rasa di Kantor Wali Kota Batam, Selasa (3/7) lalu. ”Senin (9/7) depan, PHRI kami undang lagi agar hadir dalam pembicaraan UMS ini,” katanya.


Wali Kota menolak dianggap tak mampu dalam menangani permasalahan UMS Pariwisata Batam itu. Menurut dia, UMS dibicarakan di tingkat bipartit yang hanya melibatkan pengusaha dan pekerja.
Pemko, lanjutnya, sudah berkali-kali menghadirkan pengusaha, namun mereka tak pernah datang sehingga tak pernah ada kesepakatan dalam menetapkan besaran UMS Pariwisata Batam.


”UMS beda dengan UMK. Kalau UMK, Pemko terlibat dalam pembahasan. Kalau UMS, itu bipartit. Karena tak pernah ada pertemuan, kita serahkan ke gubernur. Jadi, bukan karena kita tak mampu,” ujarnya.


Seperti diberitakan, seratusan pekerja pariwisata yang tergabung dalam FSP Pariwisata SPSI Batam menuntut agar Gubernur Kepri dan Wali Kota Batam segera menetapkan Upah Minimum Dektoral Pariwisata Batam, Selasa (3/7). Jika tuntutan mereka tak dipenuhi, pekan depan mereka mengancam akan mogok kerja. (cr9/med)

”Apindo Jangan Ditantanglah”

”Apindo Jangan Ditantanglah” PDF Cetak E-mail
Sabtu, 23 Juni 2007
Dahlan: Kenaikan PPJ untuk Pengusaha
BATAM (BP)
- Pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Batam Muhammad Zilzal yang menantang Apindo untuk buka-bukan terkait indikasi penyimpangan di Pemko Batam soal PAD (pendapatan asli daerah), mendapat tanggapan keras dari Ketua Apindo Abidin. Ia menegaskan, Apindo jangan ditantang, karena Apindo tidak pernah takut dengan tantangan.

‘’Apindo jangan ditantanglah, kalau Apindo mau buka-bukaan tak perlu di Batam, langsung ke KPK atau Presiden. Ngapaian harus di Batam,” tegas Abidin kepada Batam Pos, di Pelabuhan Fery Internasional Batam Center, setelah kembali dari China.


Abidin juga menegaskan, kalau betul ada indikasi penyelewengan pada pengelolaan PAD, Apindo tidak akan segan-segan untuk melaporkan langsung ke pusat, baik itu ke KPK, Kejagung, Presiden atau pihak terkait lainnya.


Bos PT Satnusa Persada ini juga menegaskan, apa yang disampaikan Apindo pada pemberitaan sebelumnya, tidak berbentuk tuduhan, tapi indikasi atau dugaan, yang bisa terungkap jika dilakukan audit independen oleh akuntan publik, terhadap pengelolaan PAD atau APBD Batam.


Sebab itu, jika pajak penerangan jalan (PPJ) dipaksakan naik dari tiga persen menjadi lima persen, kata Abidin, Apindo meminta agar pengelolaan PAD, diaudit dan hasilnya dipublikasi ke masyarakat. Supaya masyarakat tahu, pajak dan retribusi serta pungutan lain yang dikenakan pada mereka, dimanfaatkan untuk apa saja. Sekaligus, biar masyarakat tahu ada tidaknya penyelewengan pengelolaan PAD.


Soal biaya audit, Apindo sanggup menanggungnya, dengan catatan hasil audit dipublikasikan ke masyarakat secara utuh. Masyarakat butuh transparansi pengelolaan dana yang ditarik dari mereka dan itu hak masyarakat. Seharusnya, pengelolaan PAD dipublis ke masyarakat. Bahkan, wajib diiklankan ke media.


Jika dari hasil audit itu, ada indikasi penyimpangan, Abidin kembali menegaskan, Apindo tak akan segan-segan melaporkannya ke pihak terkait. Apindo siap pasang badan dan siap menghadapi resiko apapun.


‘’Saya menghormati azas praduga tak bersalah, tapi sudah banyak contohnya yang tak beres (pengelolaan PAD, red), saatnya masyarakat mendapatkan penjelasan pemanfaatan dana yang ditarik dari mereka, baik berupa pajak, retrisbusi atau lainnya,” ujar Abidin.


Lalu kenapa Apindo begitu getol meminta transparasi pengelolaan PAD, jika PPJ naik? Abidin mengatakan, Apindo sangat prihatin dengan rencana Pemko menaikkan PPJ dari tiga persen menjadi lima persen. Pertama, kata Abidin, potensi PAD yang ada saat ini pada dasarnya sangat besar jika dikelola dengan baik dan transparan.


Kedua, masih banyak potensi PAD yang bisa digali. Abidin kembali mencontohkan penumpang dari luar Batam yang berangkat ke Singapura atau Malaysia melalui pelabuhan Batam, bisa dikenakan pajak atau retribusi yang besarannya berkisar Rp30 ribu-Rp50 ribu.


Selama ini, masyarakat yang berpaspor luar Batam yang berangkat melalui Batam, mendapat keuntungan dengan pembayaran fiskal yang lebih rendah, sehingga mereka berlomba-lomba lewat Batam.
Akibatnya, pada saat libur bersama, terjadi antrian di pintu masuk di pelabuhan Singapura, sampai-sampai masyarakat Batam sendiri juga antri panjang. Karenanya, sangat wajar jika dikenakan retribusi, karena secara tidak langsung, penumpang luar Batam yang lewat pelabuhan Batam, sudah mendapatkan keuntungan besar.


Ketiga, Pemko dan DPRD Kota Batam bisa melakukan penghematan penggunaan anggaran. Caranya, kurangi kegiatan yang tidak penting seperti rapat di hotel berbintang. Toh, ada ruang rapat di Pemko dan DPRD Batam yang sudah dipersiapkan. Selain itu, kurangi kunjungan kerja, studi banding dan kunjungan-kunjungan lainnya yang tak perlu.


‘’Kita bisa lihat bersama, apa hasil dari kunjungan dan studi banding Pemko dan anggota dewan terhormat kita itu. Mana hasilnya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Jadi, kalau tak menyangkut masyarakat banyak, tak perlulah studi banding, menghabiskan uang rakyat saja,” ujar Abidin.
Jika tiga hal itu dilakukan, kata Abidin, maka Pemko tak perlu mengorbankan dunia usaha dengan menaikkan PPJ untuk mendapatkan PAD. Apalagi kondisi dunia usaha saat ini kembang kempis, gali lobang tutup lobang, ibarat ikan kekurangan air jadi kelepek-kelepek.


Sudah tahu kondisi dunia usaha seperti itu, kenapa Pemko Batam masih mau berburu di kebun binatang sendiri. Kalau berburu di kebun binatang sendiri, lama-lama binatangnya habis. Kalau dunia usaha terus dibebani, lama-lama koleps atau lari. Yang tersisa hanya pengangguran.


Sekretaris Kota Batam (Seko) Agusahiman sendiri, kata Abidin, tahu kondisi pengusaha di Batam ini.”Kebetulan saya satu Fery dengan Pak Seko jadi kami sempat bincang-bincang,” kata Abidin.
‘’Kalau lampu jalan tidak dipasang, apa Batam akan Tenggelam? Lagian, lampu jalan yang ada saja tak terawat, hidup mati, perawatan kurang, kemana uang rakyat?” tanyanya.


Berangkat dari kondisi dunia usaha yang sedang lesu itu dan potensi lain PAD yang belum tergarap, maka Apindo getol menolak rencana kenaikan PPJ yang memberatkan dunia usaha. Apalagi, dampak dari kenaikan PPJ akan besar, terlebih jika ditetapkan saat ATB juga menaikkan tarif air 20 persen. Momentum yang sangat tidak tepat.


Abidin juga mengatakan, jika PPJ dipaksakan naik, maka menjadi salah satu akar permasalahan baru dalam pembahasan UMK, karena sangat erat kaitannya dengan besaran nilai kebutuhan hidup layak (KHL). KHL akan meningkat dan buruh pasti menuntut upah tinggi.


Kalau ini terjadi, maka dunia usaha semakin terancam punah. Bakal tejadi lagi gejolak dalam pembahasan UMK, sebab sudah pasti Apindo akan menolak nilai KHL yang tinggi akibat dampak dari kebijakan pemerintah menaikkan PPJ atau komponen lainnya.


Apindo juga mengajak buruh untuk bersuara menolak PPJ. Jangan hanya bisa demo saat pembahasan UMK. Apindo juga mengajak masyarakat untuk jernih melihat, siapa sebenarnya yang membela mereka. Politisi yang tidak bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat, jangan pilih lagi pada pemilu berikutnya. Masyarakat sudah cukup dewasa dan cerdas, sehingga jangan mau lagi dibohongi dengan janji-janji manis.


Abidin juga mengatakan, ia berteriak menolak PPJ, karena merasa terpanggil untuk membantu dunia usaha dan masyarakat. Sebab, jika PPJ naik, maka pusat perbelanjaan, industri, hotel, restoran dan sektor lainnya, tentu akan menaikkan harga karena biaya produksi mereka melonjak gara-gara PPJ naik. Ujung-ujungnya, masyarakat juga yang merasakan dampaknya.


‘’Saya berkata seperti ini, bukan karena ada keinginan terjun ke politik atau birokrat, sama sekali tidak ada keinginan jadi politisi atau birokrat. Saya akan tetap membela dunia usaha dan masyarakat sebagai seorang yang independent seperti sekarang ini,” tegasnya.


Abidin juga menegaskan, Apindo tetap pada komitmen awal, menolak kenaikan PPJ. ‘’Hanya satu kata kenaikan PPJ Zero (nol) persen,” tegasnya.

Untuk Pengusaha
Wali Kota Batam Ahmad Dahlan mengatakan usulan kenaikan pajak penerangan jalan (PPJ) dari tiga persen menjadi lima persen adalah untuk menutupi biaya operasional dan pemeliharaan Lampu Penerangan Jalan Umum (LPJU) di seluruh Batam. Apalagi tahun ini, katanya, Pemko akan membangun 5.500 titik LPJU.


‘’Kita kan ingin membangun Batam menjadi kota besar dengan infrastruktur yang memadai. Seperti drainase, jalan dan penerangan. Makanya, kita usulkan agar PPJ naik dua persen,” katanya, kemarin.
Kenaikan dua persen itu, katanya, akan ia gunakan untuk membangun 5.500 titik LPJU. ‘’Kalau tak dinaikkan, dananya dari mana. Kan dalam undang-undang, PPJ bisa dinaikkan sampai sepuluh persen,” tukasnya.


Ditanya, soal keberatan pengusaha, Dahlan mengatakan, kalau kenaikan PPJ itu juga untuk pengusaha. ‘’Kalau Batam terang benderang, kan keamanan investasi juga terjamin. Tak ada perampokan di jalan dan lainnya. Kenaikan ini kan untuk pengusaha juga,” tukasnya.


Rencana kenaikan PPJ itu, kini digodok Pansus Ranperda Perubahan Perda Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pajak-pajak Daerah DPRD Batam yang diketuai Mawardi Harni. Pansus ini diberi waktu 90 hari untuk menyelesaikan pembahasan.


Menurut Wakil Ketua DPRD Batam Chablullah Wibisono, selama pembahasan di Pansus klausul-klausul yang ada di ranperda itu, termasuk usulan kenaikan PPJ jadi lima persen, bisa saja berubah.
‘’Itu semua tergantung pembahasan di Pansus. Makanya, kalau ada yang tak setuju, bisa diungkapkan nanti dalam pembahasan di Pansus,” katanya. (nur/med)