Wednesday, March 21, 2007

Pasal 37 Ranperda Naker Menakutkan

Pasal 37 Ranperda Naker Menakutkan Cetak E-mail
Rabu, 21 Maret 2007

BATAM (BP) -
Pasal-pasal di Ranperda tentang Pola Pengaturan Hubungan Industrial atau Ranperda Naker, khususnya pasal 37, bisa membuat orang takut mendirikan perusahaan di Batam. Karena itu Ranperda itu perlu disempunakan lagi.

Hal itu diungkapkan Ketua Panitia Legislasi (Panleg) DPRD Batam Sahat Sianturi, kemarin. ”Orang akan takut membuat perusahaan di Batam. Isi Ranperda ini bisa buat orang mikir bila ingin inves di Batam. Padahal, kita harus sama-sama menjaga agar Batam ini tetap kondusif,” tukas Sahat kemarin.


Sahat kemarin terlihat berhati-hati dalam mengomentari Ranperda Naker itu. Ia beralasan, Panleg baru akan memulai melakukan pembahasan, belum masuk dalam menelaah isi Ranperda itu.
Disinggung soal Bab IX tentang fasilitas kesejahteraan pekerja atau buruh dalam Pasal 37 di Renperda itu, Sahat mengatakan, akan menyempurnakannya. Dalam pasal itu ada 12 fasilitas untuk pekerja yang harus disediakan oleh setiap perusahaan. Di antaranya, tempat penitipan bayi, pelayanan KB, fasilitas ibadah, fasilitas kantin, fasilitas istirahat, perumahan, angkutan dan lainnya.
”Di situ disebutkan setiap perusahaan. Apakah kalau perusahaan itu hanya punya dua atau tiga karyawan juga wajib menyediakan tempat penitipan bayi. Pasal ini perlu disempurnakan lagi,” katanya.


Sahat membandingkan pasal 37 dalam Ranperda itu dengan Pasal 100 UU Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di Pasal 100 UU Nomor 13 Tahun 2003 ada kewajiban perusahaan menyediakan fasilitas bagi pekerja, tapi dengan memperhatikan kebutuhan pekerja atau buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. Di ayat 3 Pasal 100 itu, ada aturan yang menyatakan bahwa kewajiban perusahaan soal fasilitas itu diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan di Pasal 37, semua perusahaan diwajibkan tanpa memandang besar kecilnya perusahaan.


Selain Pasal 37, Sahat juga mengkritisi ketentuan umum di Ranperda itu tentang definisi perusahaan. Di Ranperda itu disebut, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang per seorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja atau buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Juga disebut perusahaan, usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
”Apakah kalau saya cuma punya dua pegawai, wajib menyediakan tempat penitipan bayi atau semua fasilitas di Ranperda itu. Kalau disahkan seperti itu kan perusahaan jadi wajib. Ini bisa bikin orang mikir investasi di Batam,” tukasnya. (med)

Pesangon Belum Jelas, Pekerja Livatech Demo Lagi

Pesangon Belum Jelas, Pekerja Livatech Demo Lagi Cetak E-mail
Rabu, 21 Maret 2007

BATAM (BP) -
Tim Likuidator PT Livatech Elektronik Indonesia, Hariara, yang datang ke PT Livatech, Selasa (20/3) sore kemarin, disambut aksi demo karyawan Livatech. Mereka memprotes keras sikap manajmen yang belum memberikan kepastian waktu dan besaran pesangon mereka.

”Nasib kami masih terkatung-katung. Kami ingin kepastian dan itu harus ada komitmen hitam di atas putih, tidak hanya ucapan semata,” tegas Ketua PUK SEE SPMI PT Livatech, Jhon Mauritz, disela-sela aksi itu. Hariara sendiri sempat melontarkan janji kepada karyawan Livatech yang hadir, bahwa manajmen Livatech bersedia membayarkan pesangon. Jaminannya adalah dirinya dan itu akan diusahakan dalam tiga bulan atau jika bisa dalam satu bulan ke depan. Namun, sejumlah karyawan meragukan. Menurutnya, harus tetap ada hitam di atas putih, tidak cukup dengan retorika saja.


Tak hanya itu, sejumlah karyawan juga mempertanyakan keberadaan Hariara yang mengaku bagian Tim Likuidator PT Livatech. Sejatinya, kata sejumlah karyawan, jika memang Hariara bagian dari Tim Likuidator, seharusnya datang bersama dengan anggota tim lainnya yang komponennya terdiri dari unsur manajmen perusahaan, pemerintah, karyawan dan pihak terkait lainnya.


Beberapa karyawan sempat terlihat sedikit emosi melihat Hariara yang belum bisa memberikan kepastian waktu pembayaran pesangon mereka. Beberapa kali terdengar suara riuh tanda tak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Hariara. Namun, mereka masih bisa menahan diri. Tak lama berselang, Hariara bergegas meninggalkan perusahaan itu, tanpa memberikan kepastian besaran dan waktu pembayaran pesangon. (nur)



Terkait soal gaji bulan Januari yang dijanjikan akan dibayarkan sisa 50 persen, setelah sebelumnya dibayarkan 50 persen, Jhon mengatakan, sampai saat ini juga belum ada kepastian pembayaran sisa 50 persennya lagi.


Pihak Likuidator, kata Jhon, pernah meminta agar karyawan meninggalkan perusahaan itu, supaya mereka bisa melelang aset yang ada. Namun, pentolan-pentolan karyawan Livatech menolak, karena tak ada jaminan jika mereka meninggalkan perusahaan itu, hak mereka dibayarkan. ”Harusnya buat perjanjian dulu dan perjanjian itu didaftarkan ke pengadilan,” tegas beberapa pengurus PUK SEE SPMI PT Livatech.


Jhon dan sejumlah karyawan PT Livatech lainnya, akan tetap bertahan di perusahaan itu, sampai ada kejelasan hak-hak mereka dibayarkan. Untuk itu, mereka meminta manajmen perusahaan segera merundingkan kepastian waktu dan besaran pembayaran pesangon. ”Segala sesuatunya sudah kami percayakan pada tim Advokasi SPMI Kota Batam. Jadi, manajmen Livatech silahkan berunding dengan tim advokasi itu. Sementara, kami tetap menjaga aset yang ada,” kata Jhon. (nur)

Hak Pekerja Belum Terakomodir

Hak Pekerja Belum Terakomodir Cetak E-mail
Sabtu, 17 Maret 2007
Batam (BP) - Serikat Pekerja mendesak Panitia Khusus (Pansus) Penyusunan Perda Ketenagakerjaan (Naker) untuk segera menyempurnakan isi rancangan perda tersebut. Mereka menilai 99 persen materi ranperda itu, adalah jiplakan atau copy paste dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Itulah sebabnya, masih banyak substansi terkait persoalan ketenagakerjaan di Batam yang belum diakomodir.

”Pansus jangan vakum, secepatnya penyempurnaan itu dilakukan, agar bisa disahkan,” ujar Wakil Ketua Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) Kota Batam, Anto Sujanto kepada wartawan di Batam
Centre, Jumat (16/3).


Anto mengatakan, persoalan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam Ranperda Naker itu antara lain, persoalan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan masalah outsourching. Pada prakteknya di lapangan, PKWT masih ditabrak oleh sejumlah perusahaan. Tak sedikit pekerja yang hanya di kontrak terus menerus, tanpa ada kejelasan status permanen.


Begitupun dengan outsoursching yang marak di Batam. Sejatinya, outsourching tidak dibenarkan untuk perusahaan yang melakukan produksi secara terus menerus. Namun kenyataanya di Batam, itu dilanggar. ”Makanya perlu diatur di Perda,” katanya.


Substansi lainnya, masalah jaminan hari tua (JHT). Pencairan JHT jika suatu perusahaan tutup, tidak perlu menunggu sampai 6 bulan. Pasalnya, karakteristik pekerja di Batam sangat berbeda dengan daerah lainnya. Pekerja di Batam umumnya pendatang atau disebut juga pekerja AKAD (Angkatan Kerja Antar Daerah).


Jika harus menunggu sampai enam bulan, maka tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan oleh pekerja. Sewa rumah, biaya makan, transportasi dan lain-lain. Sementara mereka tidak bekerja lagi. Ini bisa menimbulkan persoalan sosial. ”Kalau pekerja daerah lain, masih bisa bertahan karena masih ada rumah orangtua mereka, tapi kalau di Batam mereka nyewa. Ini yang belum diatur juga dalam Ranperda Naker itu,” ungkap Anto. (nur)

Apindo Tolak Ranperda Naker

Apindo Tolak Ranperda Naker Cetak E-mail
Selasa, 20 Maret 2007
Dinilai Mengancam Dunia Investasi
BATAM(BP) -
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam menolak Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Ketenagakerjaan (Naker) untuk disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Kota Batam. Apindo menilai ranperda itu bisa mengancam dunia investasi di Batam.

”Kalau ranperda disahkan, Batam akan jadi bumi hangus. Industri terancam. Mau jadi apa Batam ini tanpa industri. Siapa yang mau tanggung jawab kalau industri banyak yang tutup,” tegas Ketua Apindo Batam, Abidin Hasibuan kepada Batam Pos, kemarin.


Penolakan Apindo, kata Abidin, sebenarnya sudah lama disampaikan. Bahkan, sudah dua kali melayangkan surat ke Pansus Naker atau Komisi IV, bahwa Apindo tidak akan mengikuti rumusan Ranperda Naker itu. ”Itu sebabnya, Apindo tidak perlu lagi datang memenuhi undangan pansus, karena sejak awal sebenarnya pansus sudah tahu sikap Apindo yang tidak mau ikut rumusan ranperda itu. Jadi saya kecewa sekali dengan pernyataan Karles Sinaga,” katanya.


Aalasan mengapa Apindo menolak hadir dalam pembahasan dan menolak keberadaan Ranperda Naker itu, Bos Sat Nusapersada ini menegaskan, Apindo masih menunggu janji Pemerintah Pusat yang akan menurunkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengupahan, terkait UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Naker.


Selain itu, Apindo juga masih menungu lahirnya regulasi tentang kawasan ekonomi khusus (Special Economic Zone/SEZ) yang hingga saat ini belum jelas kepastiannya. Alasan lainnya, kondisi perekonomian di Batam saat ini sangat memprihatinkan.
Abidin menyebutkan, kondisi industri di Batam dalam keadaan darurat. Perusahan banyak yang tutup. Bahkan, di beberapa media Internasional memberitakan kalau industri yang akan hengkang dari Batam ada enam, salah satunya Livatech yang sudah positif hengkang.


Seharusnya, hengkangnya Livatech cukup menjadi pelajaran penting bagi Batam. Apalagi yang menjadi korban ada 1.300 karyawannya yang kini belum jelas nasibnya. Gaji mereka tidak dibayarkan, tunjangan hari tua (JHT) juga belum dibayarkan, begitupun dengan pesangon mereka.
Ia tak menafikkan, jika hengkangnya Livatech tak terlepas dari sepinya order ke perusahaan itu. Menurutnya, sepinya order ke Livatech maupun perusahaan lainnya, akibat tingginya biaya produksi (high cost) di Batam. Itu terjadi akibat banyaknya oknum yang ”memeras” pengusaha, birokrasi yang seperti hantu, aturan-aturan yang kurang berpihak dan provokasi oknum tertentu sehingga pengusaha dibuat tak nyaman.


Abidin mencium indikasi sindikat yang sengaja mengobok-obok Batam, agar industri yang ada hengkang. Beberapa negara siap menampungnya. Tak hanya itu, harga listrik, air (45 persen lebih mahal) dan komponen produksi lainnya di Batam sangat tinggi dibandingkan Malaysia. Padahal dalam Kepres 17 dikatakan, tidak boleh ada upaya ataupun aturan yang memberatkan dunia usaha. Termasuk birokrasi dan hal-hal lainnya yang memberatkan dunia usaha.


Akibat dari semua itu, perusahaan di Batam semakin sulit mendapatkan order. Pihak yang memberi order berfikir dua kali memberikan order pada industri di Batam, menngingat proses produksi yang membutuhkan biaya yang tinggi. ”Jadi bertobatlah, jangan lagi buat aturan-aturan yang memberatkan dunia industri di Batam,” pinta Abidin.


Alasan mendasar lainnya yang membuat Apindo menolak Ranperda Naker itu, juga tak terlepas dari adanya indikasi muatan politis dibalik ranperda itu. Ia melihat, ada kepentingan politik pada 2009 mendatang, sehingga ranperda ini dijadikan strategi untuk menarik simpati pekerja.


Ia meminta pekerja tidak terpancing dengan ”pembohongan publik” yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin mencapai tujuan politiknya dengan menggunakan ranperda sebagai strategi mereka. Beberapa pasal dalam ranperda itu, kata Abidin, juga masih banyak yang kurang berpihak pada dunia usaha, bahkan sangat memberatkan dunia usaha di Batam.
”Pasal 37 misalnya. Di pasal ini, pengusaha diwajibkan menyediakan tempat penitipan bayi untuk karyawan mereka yang memiliki bayi. Pengusaha juga wajib menyediakan rumah dan beberapa komponen kewajiban lainnya,” ungkapnya.

Penitipan Bayi Terlalu Memberatkan
Abidin menilai, kewajiban adanya tempat penitipan bayi terlalu berlebihan dan sangat memberatkan. ”Bagaimana kalau 1.000 karyawan semua punya bayi. Berarti kami harus bangun gedung besar seperti Planet Holiday untuk bisa menampung anak-anak mereka. Ini memberatkan sekali,” tegasnya.


Abidin juga mengecam beberapa kalangan yang sering memprovokasi agar pengusaha takut dan hengkang. Termasuk mereka yang sering mengancam akan menurunkan massa.
Ditanya siapa yang ia maksud, Abidin masih enggan mengatakan secara vulgar. Ia hanya mengatakan, ada 5 orang oknum di dewan dan empat serikat pekerja, dua diantaranya dari Jakarta. Bahkan, ada LSM dari luar negeri yang sengaja mengobok-obok industri di Batam agar hengkang dan ada nengara yang siap menampungnya.


”Mereka itu penghianat bangsa. Kalau saya dapat bukti otentiknya, langsung saya laporkan ke Presiden dan Kapolri dalam waktu dekat ini. Biar mereka ditangkap. Apindo tidak gertak sambal, Apindo sunguh-sungguh, karena ini sudah menyangkut sindikat atau mafia industri,” tegasnya.
”Mereka yang mengaku banyak massa dan mau turun untuk nakut-nakuti pengusaha terkait UMK juga jangan hanya ngomong. Buktikan massa yang banyak itu. Tapi ingat, ini negara hukum. Kalau itu jelas motivnya agar pengusaha takut, maka Apindo tak akan tingal diam,” tegasnya lagi.
Apindo akan meminta pemerintah pusat memberikan shock therapy terhadap oknum-oknum provokator itu dengan menjebloskan mereka ke penjara. Abidin mengatakan, umumnya mereka kaya dan punya banyak mobil, namun terindikasi mobil bodong.


Sebenarnya, kata Abidin, Apindo sudah capek ngomong. Oknum-oknum yang ia maksud masih tetap merajalela. Bahkan, birokrasi seperti hantu, razia ke pengusaha dan berbagai hal yang memicu biaya tinggi masih saja terjadi di Kota Batam. Bahkan, dibuat lagi aturan (ranperda) yang semakin membuat pengusaha menjerit. ”Mereka sudah mati rasa semua,” kata Abidin.


Dalam beberapa bulan terakhir, Apindo mencoba menahan diri. Namun, saat Apindo tak bersuara, semakin banyak upaya yang membuat pengusaha menjerit. Itu sebabnya, Apindo kembali teriak. Sudah menjadi hak Apindo untuk memprotes berbagai kebijakan yang tak berpihak pada dunia usaha. Apindo dilindungi UU dan Keppres dalam hal hubungan industrial. Untuk itu, ia menghimbau pada tokoh masyarakat dan lapisan masyarakat lainnya untuk melawan sindikat (mafia) industri itu.
Abidin juga mengingatkan, anggota DPRD Batam jika ingin membantu buruh, bereskan dulu birokrasi yang seperti hantu itu, tangkap oknum yang sering razia ke pengusaha, berantas korupsi, berantas biaya-biaya siluman, kendalikan harga barang-barang karena upah tak bisa jadi jaminan buruh sejahtera kalau harga tetap melambung tinggi. Dan jangan membuat aturan yang memberatkan pengusaha. ”Burung saja diganggu terbang. Apalagi PMA,” katanya.


Abidin meminta, jangan lagi ada upaya menghancurkan industri di Batam. Cukuplah 1.300 karyawan Livatech jadi korban. Mereka yang sering berteriak soal upah atas nama buruh bertobatlah. Sebab, yang sering teriak itu tak juga bisa mengembalikan pekerjaan 1.300 karyawan Livatech. ”Mari kita jaga Batam bersama-sama,” pintanya.

Jangan Tumpang Tindih
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam, Nada Faza Soraya mengingatkan agar Ranperda Neker Kota Batam yang tengah dibahas, tidak tumpang tindih dengan aturan yang ada di atasnya. Di samping itu, ranperda juga bisa menjadi win-win solutions bagi pengusaha dan pekerja. Hal tersebut disampaikan Nada F Soraya kepada Batam Pos, Senin (19/3) malam. ”Dalam membuat perda kan harus dilihat UU yang ada di atasnya, jangan sampai Perda yang dibuat itu nantinya tumpang tindih,” katanya.


Khusus mengenai Ranperda Naker Kota Batam yang tengah dibahas, Nada mengingatkan agar ranperda tadi bisa menjadi win-win solutions bagi pekerja dan pengusaha. ”Baik pengusaha maupun pekerja harus sama-sama mendapat manfaat dari Ranperda yang tengah dibahas, itu baru namanya win-win solutions,” tegasnya.


Dalam kesempatan itu, Nada juga mengingatkan agar Ranperda itu juga mengacu kepada kekhususan (lex specialist) yang dimiliki Batam. Lex specialist yang dimiliki Batam pada khususnya dan Provinsi Kepri umumnya, kata dia, dimana 96 persen wilayahnya ada laut. ”Aspek lokalitas yang menjadi kekhususan Batam dan Kepri tadi membuat tanpa SEZ pun, baik Batam, Bintan dan Karimun bisa memakai nilai negara kepulauan. Kita berharap aspek lokalitas yang menjadi kekhususan tadi bisa menjadi acuan Perda,” paparnya.


Pada bagian lain, Nada mengingatkan, agar baik pengusaha maupun pekerja harus sama-sama pintar dalam menyikapi masalah Ranperda Naker tersebut. ‘’Kenapa pengusaha dan pekerja harus smart, ya supaya tidak sampai diadu domba. Pengusaha harus smart (pintar) dalam mengantisipasi dan pekerja juga harus smart sehingga mengetahui kalau mereka menjadi komoditas bagi pihak yang tidak bertanggung jawab,” tambahnya.


Nada juga mengimbau agar pekerja yang akan mencari pekerjaan harus meminta kebijakan perusahaan lebih dulu. ‘’Dengan meminta kebijakan perusahaan lebih dulu sebelum bekerja, maka pekerja melihat apa dan bagaimana sebenarnya perusahaan tersebut?,”cetusnya.
Dalam kesempatan itu, Nada sempat melontarkan usulan menarik agar dalam mencapai win-win solutions baik pengusaha maupun pekerja harus hadir dalam pembahasan Ranperda. ”Kalau tidak suka datang, ya silahkan kirim utusan yang bisa dipercaya baik oleh kalangan pengusaha maupun pekerja,” tambahnya.


Dengan mengirim utusan, Nada menambahkan, bisa didengar secara langsung apa sebenarnya pembahasan yang berlangsung. ‘’Selain bisa mendengar secara langsung, ya mencegah terjadinya adu domba. Namun begitu, jangan sampai ada yang memaksakan kehendak jika tidak ada kesesuaian sebaliknya semua pihak harus melihat UU yang ada,” ujarnya. (hda)

Ranperda Naker Tetap Dilanjutkan

Ranperda Naker Tetap Dilanjutkan Cetak E-mail
Senin, 19 Maret 2007
Batam (BP) - Meskipun menuai kontroversi, namun pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Ketenagakerjaan (Naker) masih tetap dilanjutkan pembahasannya dan dalam waktu dekat akan segera disahkan.

”Buat perda bukannya gratis, sudah dianggarkan pakai uang rakyat. Jadi tidak mungkin tidak dilanjutkan. Pasti tetap kita lanjutkan dan segera kita sahkan,” ujar anggota Pansus Ketenagakerjaan, Setiyasih Priherlina kepada Batam Pos, Ahad (18/3)


Anggota DPRD yang masuk dalam pengusul Ranperda Naker ini, mengaku kecewa dengan sikap sejumlah anggota DPRD Batam yang menolak atau meminta pengesahan Ranperda ini diundur. Khususnya mereka yang pernah bergabung di Komisi IV yang membidangi kesejahteraan dan tenaga kerja. ”Mereka mengusulkan sendiri, lalu menolak. Apa tidak menelanjangi diri sendiri namanya,” ujar Lina.


Menurutnya, tidak ada alasan untuk tidak mengesahkan Ranperda Naker itu. Pasalnya, semua substansi yang ada dalam ranperda itu, sudah dikonsultasikan dengan Mendagri dan Menakertrans. Tak satu pun pasal dalam ranperda itu yang dinilai bertentangan dengan regulasi yang ada. Pasal per pasal, kata Lina, sudah dikonsultasikan, bahkan tak hanya ke Mendagri dan Menaker, juga pada sejumlah pakar hukum.


Menurutnya, kekhawatiran akan berbenturan dengan regulasi SEZ, terlalu berlebihan. Penilaian mentah terhadap substansi Ranperda juga dianggap terlalu berlebihan. ”Sudah dikonsultasikan kok. Ranperda ini betul-betul mengatur hubungan baik antara pekerja dan tenaga kerja. Lagian, tak ada retribusi yang diatur dalam Perda itu,” katanya.


Yang terpenting saat ini, tak perlu mempolemikkan pasal-pasal ranperda itu, mengingat sudah tidak ada persoalan lagi. (nur)

Livatech Akhirnya Benar-benar Hengkang

Livatech Akhirnya Benar-benar Hengkang Cetak E-mail
Kamis, 08 Maret 2007
BATAM (BP) - Manajemen PT Livatech Elektronik Indonesia akan menjual aset perusahaan yang tersisa untuk membayar utang perusahaan di bank. ”Kenyataannya perusahaan tersebut memang memiliki utang di bank, salah satunya Panin Bank. Mereka tidak mungkin membuka kembali perusahaan di Batam,” kata Kasubdit Penanaman Modal Otorita Batam (OB) Rio Sudarsono, Rabu (7/3) usai peresmian Kantor dan Laboratorium Karantina Batam.

Untuk memuluskan rencana penjualan aset ini, manajemen PT Livatech telah membentuk tim likuidasi yang diketuai Heriara Panjaitan. Tim likuidasi bertugas menghitung, seberapa banyak aset dimiliki perusahaan.


Diharapkan aset ini masih mampu membayar pesangon karyawan yang berjumlah 1.305 orang. ”Bagaimanapun kita tetap meminta tim likuidasi memperhatikan hak-hak karyawan, dengan membayar pesangon dari sisa pembayaran utang,” jelasnya.

Ia menjelaskan, dalam hal ini OB hanya berfungsi sebagai fasilitator antara kuasa hukum perusahaan dengan karyawan, dengan meminta mereka tetap memperhatikan hak karyawan. Karena, selama ini karyawan dinilai sudah bertindak bijak dengan tetap menjaga aset perusahaan yang ada. Tindakan ini harus dihargai, karena jarang ditemui karyawan bertindak baik.


Usaha lain yang dilakukan, pihaknya akan meminta kepada bank yang memberikan pinjaman, untuk meringankan beban hutang perusahaan. Sehingga masih tersisa sejumlah uang yang akan dibagikan kepada karyawan.
Disinggung anggota tim likuidasi dari kalangan mana saja, Rio mengatakan perusahaan juga melibatkan karyawan. Sehingga mereka mengetahui secara pasti berapa total nilai aset dan berapa yang masuk ke rekening perusahaan.

Panggil Jamsostek

Masih terkait kasus PT Livatech, Kasat Reskrim Poltabes Barelang AKP Herry Heryawan mengatakan, pihaknya akan segera memanggil pihak Jamsostek untuk dimintai keterangannya menindaklanjuti laporan karyawan soal dugaan penggelepan dana Jamosstek oleh manajemen.


Herry mengatakan, pihak Jamsostek dipanggil sebagai saksi dalam kaitan kasus penggelapan dana Jamsostek ini oleh manajemen PT Livatech Elektronik. “Segera kita panggil, mungkin Jumat besok,” katanya, Rabu kemarin di Mapoltabes Barelang.


Lalu dari pihak manajemen perusahaan sendiri, kapan akan dilakukan pemeriksaan, perwira dengan tiga balok di pundaknya ini mengatakan, sesuai prosedurnya, pihak terlapor akan dipanggil belakangan. Saat ini, kata dia, pihak penyidik akan mengumpulkan keterangan dari saksi terlebih dahulu.


Namun, lanjut Herry, kalau memang unsur pidana berupa penggelapan dana Jamsostek tersebut memenuhi, maka pihaknya akan mengambil tindakan hukum. “Kalau unsurnya memenuhi, apa salahnya akan dilakukan penahanan terhadap pihak manajemen perusahaan,” tegasnya.


Seperti diberitakan, tujuh orang perwakilan dari 1.305 karyawan PT Livatech Elektronik, Selasa (6/3) siang kemarin mendatangi Mapoltabes Barelang. Mereka melaporkan manajemen perusahaan atas dugaan penggelapan dana Jamsostek karyawan sejak November 2006 sampai Januari 2007 dan upah Januari yang hanya dibayarkan 50 persen. Nilai kerugian ribuan karyawan ditaksir mencapai Rp 441 juta lebih (Rp441.035.646). (bni/why)

Karyawan Livatech Mengadu ke Poltabes

Karyawan Livatech Mengadu ke Poltabes Cetak E-mail
Rabu, 07 Maret 2007
BATAM (BP) - Tujuh orang perwakilan dari 1.305 karyawan PT Livatech Elektronik, Selasa (6/3) siang kemarin mendatangi Mapoltabes Barelang.

Mereka melaporkan manajemen perusahaan atas dugaan penggelapan dana Jamsostek karyawan sejak November 2006 sampai Januari 2007 dan upah Januari yang hanya dibayarkan 50 persen. Nilai kerugian ribuan karyawan ditaksir mencapai Rp441 juta lebih (Rp441.035.646).


Para karyawan PT Livatech Elektronik yang datang melapor ke Poltabes kemarin mengakui, upaya hukum ini terpaksa ditempuh. Dalam beberapa kali kesempatan pertemuan dengan Bos Livatech Jackson Goh untuk membahas nasib karyawan, tak pernah mendapat respon positif.

”Sudah tiga kali perwakilan kami ke Singapura menemui pimpinan (Bos Livatech Jackson Goh, red). Tapi sampai sekarang nasib para karyawan masih terkatung-katung,” ujar Pimpinan Unit Kerja Sektor Elektronik Elektrik Serikat Pekerja Metal Indonesia (PUK SEE SPMI), PT Livatech John Mauritz, Selasa kemarin.


John yang datang bersama enam rekannya yang lain menuturkan, hasil pertemuan antara karyawan dengan manajemen perusahaan yang sudah beberapa kali berlangsung termasuk saat hearing di DPRD beberapa saat lalu, tak pernah memberikan kejelasan. Pihak perusahaan, katanya, hanya memberi janji tak tak pernah ada realisasi.


Kebijakan perusahaan untuk tidak operasional lagi, dirasakan membawa dampak bagi para karyawan. Sejumlah karyawan merasa dirampas hak-haknya. Salah satunya masalah dana Jamsostek.


Dana ini, kata John, belum dibayarkan oleh pihak perusahaan terhitung darii November 2006 sampai Januari 2007. Padahal, lanjutnya, saat dikonfirmasi ke pihak Jamsostek, diakui dana ratusan juta itu sudah dibayarkan ke pihak manajemen perusahaan PT Livatech Elektronik. ”Akibatnya juga para karyawan kehilangan hak untuk pelayanan kesehatan dari Jamsostek. 16 Februari kemarin sudah distop di Casa Medical,” katanya


Selain dana Jamsotek, para karyawan juga menuntut gaji yang hanya dibayarkan 50 persen pada Januari 2007 lalu. ”Gaji Januari 2007 hanya dibayar setengah. Karyawan juga menuntut gaji Februari ini. Yang menjadi masalah juga yakni tak ada kabar pasti dari perusahaan apakah akan tutup,” tambah Agus, sekretaris PUK SEE SPMI PT Livatech.


Hingga sore kemarin, sejumlah karyawan PT Livatech masih memberikan keterangan di ruang periksa Unit IV Sat Reskrim Poltabes Barelang. Kasat Reskrim Poltabes Barelang AKP Herry Heryawan membenarkan jika pihaknya telah menerima laporan dari karyawan PT Livatech Elektronik. (why)

Bahas UMS-P, Tak Hanya dengan PHRI

Bahas UMS-P, Tak Hanya dengan PHRI Cetak E-mail
Senin, 26 Pebruari 2007
BATAM (BP) - Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam mengaku siap ikut terlibat dalam perundingan pembahasan Upah Minimun Sektoral-Pariwisata (UMS-P) Kota Batam 2007 bersama unsur perwakilan pekerja serta pemerintah. Cuman, PHRI mengisyaratkan agar asosiasi profesi unsur pariwisata lainnya, turut dilibatkan.

”PHRI siap melakukan pembahasan. Kami dari PHRI pasti akan hadir. Hanya saja, jangan hanya PHRI yang dilibatkan. Tetapi harus ikut asosiasi bidang pariwisata lainnya. Saya akan walk out jika unsur pariwisata tidak lengkap,” kata Ketua PHRI Kota Batam, Zukriansyah menjawab wartawan, Sabtu (24/2) lalu, di Novotel Hotel, Jodoh.

JJ, sapaan Zukriansyah menegaskan, pemerintah harus menyadari bahwa PHRI bukanlah organisasi satu-satunya di bidang industri pariwisata. Soalnya, masih ada beberapa wadah lainnya, seperti Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita), Asosiasi Jasa Hiburan Barelang (Ajahib) dan lainnya. Karena itu, PHRI belumlah mewakili pariwisata.

PHRI juga mengingatkan, agar pembahasan UMS Pariwisata dibahas secara objektif, profesional dan proporsional. Jika tidak, maka dikhawatirkan pembahasan UMS-P tersebut akan mandek. ”Dan, yang harus diingat bahwa UMS bukanlah masalah krusial. Banyak persoalan lain yang harus segara dibenahi,” cetus J.J, yang saat bersamaan di dampingi oleh pengurus PHRI lain, yaitu Anas dan beberap lainnya.

Ia mencotohkan seputar kebijakan buka-tutup layanan hiburan saat perayaan keagamaan dan hari-hari libur lainnya. Selama ini kebijakan pemerintah yang diberlakukan tidak membuat suatu keadaan di bidang kepariwisataan untuk lebih baik. Sebaliknya, beberapa kebijakan yang ada justru memperkeruh kondisi kepariwasataan. ”Ke depan, PHRI berharap pemerintah bisa membuat kebijakan yang bisa mencipatkan iklim pariwisata lebih baih,” cetusnya. (lin)