Wednesday, May 16, 2007

PT Schneider Bekali Karyawan Ilmu Usaha

PT Schneider Bekali Karyawan Ilmu Usaha PDF Cetak E-mail
Senin, 14 Mei 2007
BATAM (BP) - Karyawan PT Schneider Manufacturing Mukakuning bisa dikatakan cukup beruntung. Soalnya, di saat waktu luang, perusahaan membuka pelatihan kewirausahaan pada karyawannya. Sehingga saat habis kontrak atau putus hubungan kerja (PHK), karyawan tidak perlu kuatir.

”Mereka sudah bisa menghidupi diri mereka, tanpa harus bekerja lagi di perusahaan. Mereka sudah bisa membuka usaha sendiri, dari ilmu yang mereka dapatkan selama mendapat pelatihan di perusahaan ini,” tutur Johannes A D Purnomo, Manager HRD PT Schneider, baru-baru ini di perusahaan tersebut.


Menurut Johannes, jenis pelatihan yang diberikan kepada karyawannya cukup beragam. Mulai dari pelatihan jahit menjahit, belajar komputer hingga salon. Semua fasilitas disediakan di dalam perusahaan.
“Ini salah satu cara kami mensejahterahkan karyawan. Karyawan mendapat pelatihan ini tanpa dipungut biaya, semua menjadi tanggungan perusahaan,” tambahnya.


Pelatihan yang berjalan sudah hampir empat tahun ini, sudah membawa hasil yang cukup baik, pada karyawan, baik yang sudah keluar atau yang masih bekerja. “Pelatihan ini nantinya akan membawa mereka untuk tetap bisa melanjutkan hidupnya dengan ilmunya,” ujarnya.


Mengingat banyaknya jumlah karyawan di perusahaan asal Perancis itu, pihak PT Schnieder telah menjadwalkan jadwal praktek bagi karyawan yang mendapat pelatihan. Sehingga tidak menganggu pekerjaan atau proses produksi.


”Jadwal sudah kita atur agar tidak mengganggu proses produksi,” tukasnya.
Pengamatan Batam Pos, sejumlah karyawan tampak sibuk otak-atik komputer di depannya dan tenaga pengajar yang sibuk mondar-mandir dan menyambangi satu persatu meja karyawan yang belajar untuk memastikan ilmu tersalurkan.


Sementara di ruangan pelatihan lain, karyawan sedang asyik menjahit pakaian. Peralatan jahit yang digunakan juga sama dengan mesin jahit pada tempat kursus menjahit di Batam. ”Sebagian karyawan yang keluar telah membuka usaha sendiri,” tutur Johannes. (ray)

Wajar, Ada Perusahaan Hengkang

Wajar, Ada Perusahaan Hengkang PDF Cetak E-mail
Kamis, 10 Mei 2007
BATAM (BP) - Isu akan hengkangnya beberapa perusahaan di Batam, dinilai sebagai sesuatu hal yang wajar. Pasalnya, pasang surut di dunia industri dan invesatsi, biasa terjadi di negara mana pun. Sekarang, bukan hanya soal akan hengkangnya perusahaan yang perlu disikapi. Namun upaya Otorita Batam (OB) untuk terus menarik investor, juga perlu dilihat.

”Kita menilai hal yang wajar jika ada satu atau dua perusahaan yang hengkang karena persaingan order, tapi yang masuk kan puluhan perusahaan ke Batam,” kata Kepala Biro Humas dan Pemasaran Otorita Batam, Rusliden Hutagaol, Rabu (9/5) lalu.


Rusliden mengatakan adanya perusahaan yang hengkang ini harus disikapi secara arif, jangan terlalu dibesar-besarkan. Itu adalah pasang surut dalam dunia perindustrian.

Tidak selamanya suatu perusahaan bisa terus berkembang dengan baik. Ini bisa disebabkan mulai menurunnya order yang diperoleh.


Jadi kalau masalah isu hengkang ini dibesar-besarkan, akan menuai akibat negatif. Berita miring ini, bisa dibaca oleh pesaing-pesaing yang berada di kawasan industri negara lain. Mereka akan memanfaatkan pemberitaan yang ada untuk menakut-nakuti investor lain supaya tidak berinvestasi di Batam.


Mengenai berapa banyak investor yang keluar dari Batam, Rusliden mengaku selama tahun 2007 ini, baru PT Livatech yang tercatat hengkang. Di luar itu, belum ada perusahaan lain yang kabur. Sementara investor asing yang masuk, tercatat sudah 11 perusahaan asing dan lokal dalam kurun waktu Januari hingga Februari 2007 lalu.


Tujuh dari 11 perusahaan ini, merupakan perusahaan asing yang bisa menyerap tenaga kerja sampai 1.500 orang. (bni)

Karyawan Livatech Tunggu Janji Wako

Karyawan Livatech Tunggu Janji Wako PDF Cetak E-mail
Jumat, 04 Mei 2007
BATAM (BP) - Karyawan Livatech mengaku kecewa dengan Wali Kota (Wako) Batam, Ahmad Dahlan. Saat kunjungan ke Livatech, awal Februari lalu, Dahlan berjanji kalau karyawan Livatech bisa berobat gratis di rumah sakit pemerintah (RSUD dan RSOB, red) dan puskesmas-puskesmas. Tapi kenyataan sebaliknya, para karyawan Livatech ditolak untuk berobat di sana.

Padahal, syarat yang diminta Wako saat itu mereka harus menunjukkan badge tanda karyawan perusahaan dan menyertakan list seluruh nama karyawan. Esoknya setelah melakukan pertemuan dengan wali kota waktu itu, perwakilan PUK Serikat kerja Metal Indonesia (SPMI) di Livatech langsung menyebar daftar pekerja ke seluruh RS pemerintah dan puskesmas.


Hingga saat ini, setidaknya ada tiga kasus penolakan yang dialami karyawan Livatech. Pertama adalah kasus penolakan seorang pekerja di RSUD di awal hengkangnya perusahaan. Walau akhirnya pekerja itu diterima dirawat gratis, itu merupakan hasil lobi SPMI ke pihak RSUD. Seperti dilansir Batam Pos beberapa waktu lalu, saat itu Kepala RSUD dr Nenden Siti Komariah, MKes memperbolehkan dengan catatan hanya untuk pasien itu saja dan tidak yang lain.


Kasus kedua dialami Ali Amran, teknisi Livatech yang divonis sakit paru-paru. Rabu (4/4), SPMI membawa Ali ke RSUD. Di sana, ia ditolak dengan alasan dokternya sedang cuti dan ruang rawat paru-paru tengah direnovasi. Akhirnya Ali dibawa ke RSOB. Di sana ia didaftarkan layaknya pasien umum dan dibiayai SPMI. Ini dilakukan karena tak ingin mengalami penolakan yang hanya memperlambat pengobatan lagi. Tak sampai dua hari, Ali yang saat itu sempat melalui operasi kecil, menghembuskan nafas terakhirnya.


Kasus ketiga, terjadi pada Marni, karyawati yang sudah 13 tahun bekerja di Livatech. Jumat (6/4) lalu, ia bermaksud melakukan operasi guna megangkat benjolan di payudaranya. Ia pun kemudian diminta pihak RSOB membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Di kelurahan Buliang ia dinyatakan tidak bisa membuat SKTM karena tidak rawat inap. Atas saran SPMI, ia membuat Askeskin dan langsung ke RSOB. Di sana pun ia kembali ditolak dengan alasan Askeskin tidak berlaku lagi sejak tahun 2006. Sama halnya dengan Ali, akhirnya Marni juga melakukan operasi yang ditanggung SPMI.


Dari kejadian-kejadian itu, karyawan Livatech berkesimpulan, janji yang dilontarkan Dahlan belum terbukti kebenarnya.


Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan, Mawardi Badar yang dimintai tanggapannya, mengatakan tidak tahu dengan janji yang diucapkan wali kota. Dirinya mengatakan bahwa berobat gratis hanya pada Puskesmas-puskesmas. ”Siapa bilang gratis? Bayar semua, kecuali di puskesmas,” katanya saat dihubungi per telepon, kemarin.


Saat hal ini dikonfirmasi lagi ke karyawan Livatech, Marni dan beberapa karyawan lain memastikan bahwa Dahlan benar-benar mengatakan hal itu. ”Kami tidak salah dengar dan yakin benar Wako bilang begitu,” tukasnya. (cr6)

Lima Perusahaan Bakal Tutup

Lima Perusahaan Bakal Tutup PDF Cetak E-mail
Kamis, 03 Mei 2007
Gubernur Minta Manajemen Bertahan
BATAM (BP)
- Entah faktor apa yang membuat perusahaan di Batam mulai angkat kaki. Tetapi diyakini, perusahaan itu hengkang karena iklim investasi di Batam dan Kepri sudah tidak kondusif. Belum lagi ditambah dengan sistem birokrasi pemerintah yang berbelit-belit.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepulauan Riau (Kepri), Abidin Hasibuan menyatakan saat ini akan menyusul lima perusahaan lagi di Batam yang akan tutup.


Kondisi lima perusahaan itu, kata Abidin, sudah memprihatinkan. ”Mereka seperti ikan yang kekurangan air. Dan kondisinya tinggal menunggu ajal saja,” ujar Abidin di Hotel Novotel Batam, Selasa (2/5) lalu.
Menurut Bos PT Sat Nusa Persada ini, lima perusahaan yang akan tutup ini memiliki jumlah karyawan sebanyak 7.000 orang. ”Perusahaan itu sulit untuk bertahan lagi. Saat ini perusahaan tersebut hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Apindo sebagai asosiasi pengusaha tak bisa berbuat banyak dengan keinginan perusahaan itu untuk tutup. Inikan sebagai pertanda iklim investasi di Batam dan Kepri kurang kondusif,” jelas Abidin.


Dia menambahkan, sistem birokrasi pemerintah saat ini sangat ditakutkan pengusaha. ”Pemerintah harusnya cepat memperbaiki sistem. Entah faktor apa yang membuat perusahaan di Batam mulai angkat kaki. Tetapi diyakini, perusahaan itu hengkang karena iklim investasi di Batam dan Kepri sudah tidak kondusif. Belum lagi ditambah dengan sistem birokrasi pemerintah yang berbelit-belit.


Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepulauan Riau (Kepri), Abidin Hasibuan menyatakan saat ini akan menyusul lima perusahaan lagi di Batam yang akan tutup.


Kondisi lima perusahaan itu, kata Abidin, sudah memprihatinkan. ”Mereka seperti ikan yang kekurangan air. Dan kondisinya tinggal menunggu ajal saja,” ujar Abidin di Hotel Novotel Batam, Selasa (2/5) lalu.
Menurut Bos PT Sat Nusa Persada ini, lima perusahaan yang akan tutup ini memiliki jumlah karyawan sebanyak 7.000 orang. ”Perusahaan itu sulit untuk bertahan lagi. Saat ini perusahaan tersebut hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Apindo sebagai asosiasi pengusaha tak bisa berbuat banyak dengan keinginan perusahaan itu untuk tutup. Inikan sebagai pertanda iklim investasi di Batam dan Kepri kurang kondusif,” jelas Abidin.


Dia menambahkan, sistem birokrasi pemerintah saat ini sangat ditakutkan pengusaha. ”Pemerintah harusnya cepat memperbaiki sistem. Ada penilaian pengusaha, sistem birokrasi saat ini membuat pengusaha terpaksa melakukan korupsi. Bukan hanya itu, biaya produksi juga menjadi meningkat.

Dengan meningkatkanya biaya produksi, daya saing perusahaan di Batam juga menjadi lemah. Order produk jadi berkurang. Ini persoalan yang sangat nyata dihadapi pengusaha,” katanya.


Belum lagi setiap tahun, pengusaha dipaksa menaikan upah minimum kota dan provinsi. ”Padahal kondisi perusahaan masih belum stabil. Tapi dipaksa menaikkan upah. Dan kejadian ini terus ada setiap tahun dan sangat memberatkan dunia usaha, “ kata Abidin.


Gubernur Kepri Ismeth Abdullah ketika ditanya persoalan ini belum mengetahuinya. Dia baru tahu dari wartawan. Namun dia berharap perusahaan yang akan tutup itu jangan melakukan kebijakan terburuk itu.


”Kita minta Pemerintah Kota Batam cepat menyikapinya. Dan saya berharap perusahaan itu tidak tutuplah,” imbuh Ismeth kepada Batam Pos, Selasa (2/5).


Sedangkan menurut Kepala Badan Promosi dan Investasi Kepri, M Taufik, dia sudah mengetahui rencana tutupnya lima perusahaan tersebut. “Kita juga tidak mengetahui persoalan mereka hingga mau menutup usahannya. Karena sampai saat ini belum ada laporan.,” kata Taufik.


Memang banyak perusahaan mengeluhkan biaya upah buruh di Batam cukup tinggi. Membuat daya saing produk yang mereka hasilkan kalah dibandingkan dengan produk industri dari negara lain.
”Dan kita akui, Kepri dan Indonesia masih tertinggal untuk daya saing dibandingkan negara lain,” jelas Taufik.


Di Batam setiap ada kenaikan harga kebutuhan pokok, pasti upah juga ikut naik. Sehingga, kata Taufik, adanya kenaikan upah sangat memberatkan dunia usaha.


”Di China, pemerintah menjaga agar harga kebutuhan pokok dan biaya produksi sektor usaha itu tetap stabil. Dan ini belum dilakukan oleh pemerintah kita. Dengan harga stabil, maka kenaikan upah tidak mengalami setiap tahun. Dan di China tak mengenal karyawan permanen. Itu yang membuat perusahaan berlomba-lomba ke China,” katanya.


Menanggapi adanya perusahaan yang akan tutup itu, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Kota Batam Syamsul Bahrum belum menerima laporan. Dia mengatakan, banyak faktor yang mengakibatkan suatu usaha bisa tutup. ”Jadi faktor permasalahan itu harus dicarikan jalan keluar. Pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki sistem birokrasi. Dan diyakini,sistem saat ini jauh lebih baik,” kata Syamsul.


Batam saat ini masih menarik. Dan banyak juga investor yang akan menanamkan modalnya,tambah dia.

Bermasalah Ada, Tapi Hengkang Tidak
Menanggapi informasi bakal hengkangnya lima perusahaan lagi, Ketua OB Mustofa Wijaya mengatakan isu itu selalu ada namun sampai saat ini belum ada investor yang menyatakan akan hengkang.
Mustofa yang ditemui usai penandatanganan kerja sama dengan PT Pos Indonesia (Persero) menegaskan, perusahaan yang bermasalah memang ada, tapi tidak ada yang mau hengkang.

”Bermasalah ada, tapi belum tentu hengkang,” katanya di lantai delapan kantor OB, kemarin.
Ia melanjutkan, kabar akan hengkangnya satu perusahaan pasti selalu ada. Tapi jika hanya sebatas rumor, katanya, tidak perlu diributkan. Sejauh ini, ungkap Mustofa, tidak ada laporan resmi akan adanya perusahaan yang mau pindah.


”Laporan resmi tidak ada. Tapi berita (hengkang) itu benar atau tidak, saya tidak tahu. Ini kan hanya rumor saja,” ujarnya.


”Kalau satu perusahaan memang harus pergi ya tidak apa-apa. Tapi kalau tidak pergi tapi diberitakan akan pergi kan merugikan,”tambahnya.Sebaliknya, lanjut Mustofa, pihaknya akan terus meningkatkan diri, meningkatkan pelayanan dan kenyamanan untuk menarik investor. Hal itu, katanya, banyak dilakukan negara lain sehingga investor terus berdatangan.

Banyak Pengusaha Kalah di PHI
Selain soal bakal tutupnya perusahaan, Abidin yang ditemui usai menutup Workshop Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial di Daerah, di Hotel Novotel Batam, kemarin, juga menyinggung soal banyak pengusaha yang mengalami kekalahan ketika terjadi perselisihan dengan karyawannya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Tanjungpinang, karena tidak mendapat advokasi sebelumnya.


Disebutkan hampir setahun ini kasus perselisihan antara perusahaan dan karyawan yang masuk ke PHI Tanjungpinang sebanyak 70 kasus. Mayoritas kasus dari Batam. Lalu ada puluhan yang kemudian kalah.
”Pengusaha ada yang kalah dalam PHI karena tidak pernah konsultasi dengan Apindo. Padahal kita selalu advokasi. Memang tidak seratus persen yang konsultasi dengan Apindo akan menang, tapi setidaknya ada harapan, punya harapanlah,” jelas Abidin.


”Tidak harus masuk Apindo. Tidak ada undang-undang yang menyebut harus masuk Apindo. Tidak ada bahasa yang menyatakan harus. Kalau harus, itu arogansi. Tapi dibelakang kata harus itu. Bila tidak masuk Apindo, risikonya kalah di PHI,” tambahnya.


Abidin lebih lanjut mengatakan, pengusaha yang kalah ini memang kebanyakan bukan anggota Apindo. Olehnya itu ia menghimbau agar para pengusaha yang belum bergabung dengan Apindo agar segera bergabung. Bila bergabung dengan Apindo, katanya, akan ada bantuan advokasi bila terjadi masalah hubungan industrial.


”Kalau sudah bergabung dengan Apindo, tolong konsultasi dengan kita. Tapi yang terkait dengan masalah hubungan industrial. Jangan sungkan-sungkan,” imbau Abidin.


Dengan demikian, Apindo bisa mengentahui dan mencari bukti otentik apa yang sebenarnya terjadi di perusahaan. Apindo juga perlu melihat permasalahan sebelum mengambil tindakan. ‘’Jangan sampai perbuatan melanggar hukum pun baru kita membela,” katanya.(uma)

Biaya PHK di Indonesia Tertinggi di Dunia

Biaya PHK di Indonesia Tertinggi di Dunia PDF Cetak E-mail
Rabu, 02 Mei 2007
BATAM (BP) - Iklim investasi di Indonesia dan Provinsi Kepri saat ini belum kondusif. Pasalnya, kalangan pengusaha menilai peraturan perundang-undangan belum berpihak kepada mereka. Bahkan uang pesangon jika ada pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia.

Hal ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi iklim investasi. Tak heran, jika banyak penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri malah pergi luar negeri untuk mencari tempat yang aman untuk melakukan usaha. Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanuddin Rachman, kepada Batam Pos, Selasa (1/4) menanggapi banyaknya perusahaan asing yang mulai hengkang dari negeri ini.


Hasanuddin sendiri menjadi pembicara workshop Hubungan Industrial yang dilaksanakan oleh Apindo Kepri, di Hotel Novotel, kemarin (1/5) yang diikuti anggota Apindo se-Kepri. Hasan menyatakan, produk hukum yang tidak jelas penerapannya membuat sektor usaha semakin terlilit kesulitan. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja belum banyak berpihak kepada sektor usaha. Sehingga pemerintah berusaha saat ini melakukan revisi undang-undang tersebut.

Namun revisi itu masih terdapat pro dan kontra. ”Masalah yang memberatkan sektor industri adalah pemberian uang pesangon kepada karyawan yang di PHK termasuk yang tertinggi di dunia. Inikan memberatkan perusahaan yang berada di Indonesia,” ujar Hassan.


Dia menyebutkan, untuk masa kerja delapan tahun, karyawan yang di PHK akan mendapatkan uang pesangon sampai sembilan bulan gaji. Sedangkan yang sudah bekerja di atas 20 tahun jauh lebih besar uang pesangonnya. ”Kalau jumlah karyawan yang mengajukan pengunduran diri sampai ribuan orang, bagaimana perusahaan bisa memenuhinya,” kata Hasan.


Dia mengatakan, peraturan yang akan direvisi UU No 13 tahun 2003 tantang Tenaga Kerja, Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan UU No 21 tentang Serikat Pekerja juga akan direvisi. Apindo berusaha agar pemerintah merivisi peraturan ini. ”Belum lagi pengusaha menghadapi masalah dengan kenaikan upah minimum provinsi dan kota yang setiap tahunnya mengalami kenaikan,” ungkapnya.


Lebih lanjut dia mengatakan, perusahaan tidak akan mempertahankan karyawan yang produktivitasnya rendah dan selalu membuat masalah. Seharusnya, sistem gaji dan uang pesangon sama-sama mengakomodir kepentingan semua pihak.(cr9)

Minta Bekukan Perusahaan Sistem ”Outsourcing”

Minta Bekukan Perusahaan Sistem ”Outsourcing” PDF Cetak E-mail
Rabu, 02 Mei 2007
BATAM (BP) - Sekitar 50-an orang pekerja dari Federasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Batam, mengelar unjuk rasa (demo) dalam peringatan Hari Buruh se-Dunia, Selasa (1/5) kemarin. Mereka menuntut Pemko Batam mencabut izin perusahaan outsourcing yang dianggap melestarikan praktek perbudakan modern.

Aksi unjuk rasa di halaman Kantor Wali Kota Batam itu hanya berlangsung sekitar 15 menit. Massa yang berkumpul pun hanya sekitar 50-an orang, karena federasi dan asosiasi pekerja lainnya tak ikut serta dalam demo hari buruh itu.


Para pengunjukrasa itu menganggap, sebagian besar perusahaan di Batam ini terutama di kawasan industri melestarikan praktek outsourcing itu. ”Kami menuntut Wali Kota bertanggung jawab atas maraknya perbudakan yang dibungkus dengan outsorching itu,” kata Ketua Harian Federasi SBSI Batam, Ayik Apriyanto.


Usai berorasi, perwakilan pengunjuk rasa bertemu dengan Sekdako Batam, Agussahiman. Kepada mereka, Agussahiman mengatakan, ia akan menyampaikan tuntutan mereka ke Wali Kota Batam.
Setelah itu, para pendemo langsung bergerak ke kantor Otorita Batam (OB). Di sana, saat berdemo, mereka menilai OB merupakan bagian kapitalis dengan melindungi pengusaha nakal.

Dalam orasi, salah seorang peserta demo mengatakan, bentuk perlindungan pengusaha nakal yang dilakukan OB yaitu membiarkan mereka kabur dengan meninggalkan karyawan tanpa adanya kepastian nasib mereka. Selain melakukan orasi mereka juga menyampaikan beberapa pernyataan sikap, di antaranya pembubaran OB dan penghapusan sistem buruh kontrak (outsourcing).


Menampung aspirasi yang disampaikan buruh, OB mempersilahkan mereka melakukan dialog di Gedung Marketing OB, yang dihadiri Direktur Pemukiman Sarana dan Sosial, Fitrah Komaruddin, Direktur Pembangunan I Wayan Subawa serta Umen Darsono. Menanggapi tuntutan yang disampaikan, Fitrah mengatakan selama ini OB berupaya melakukan keberpihakan kepada kaum buruh. Bentuk keberpihakan itu di antaranya dengan membangun rumah susun bagi pekerja. Adanya rusun ini, bisa meringankan beban pekerja.


Mengenai adanya investor yang hengkang, Fitrah mengatakan OB selalu berupaya untuk mencari penggantinya, sehingga Batam tetap diminati sebagai tempat investasi. (bni/med)

Ekspatriat Keluhkan Pajak

Ekspatriat Keluhkan Pajak PDF Cetak E-mail
Rabu, 02 Mei 2007
KPP: Diterapkan Sejak Maret
BATAM (BP)
- Para tenaga kerja asing (ekspatriat) mengeluhkan aturan baru yang diterapkan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kota Batam. Aturan baru ini mengharuskan setiap ekspatriat membayar Pajak Penghasilan (PPh)22 sebesar Rp2 juta per bulan atau membayar fiskal sebesar Rp500 ribu setiap hendak keluar dari Batam melalui pelabuhan internasional.

Mr Lim, salah seorang ekspatriat di Tanjunguncang mengatakan, aturan ini baru diterapkan tiga bulan terakhir. Sebelumnya, ia tidak pernah dikenakan biaya fiskal setiap pulang ke negaranya di Malaysia. Ia mengaku sudah bekerja di Batam sejak 2003.

Selama itu pula, ia selalu mendapakan kartu tanda bebas fiskal luar negeri permanen khusus Batam. ”Kartu ini setiap tahun diperpanjang. Dari tahun 2003 sampai November 2006 lalu, saya mendapat kartu ini dari Kantor Pelayanan Pajak Batam tanpa dipungut biaya sepeserpun,” katanya.


Namun, kata Lim, saat ia hendak mengurus perpanjangan kartu tersebut, pihak KPP meminta dirinya untuk menyetor uang Rp2 juta sebagai pengganti PPh22 ke Bank Mandiri. ”Atau saya disuruh membayar fiskal sebesar Rp500 ribu setiap ke luar negeri dari Batam. Atau sama dengan warga negara Indonesia pemegang paspor Jakarta dan lainnya,” jelasnya.


Bagi Lim, selama ini ia tidak mendapatkan penjelasan maksimal dari pegawai KPP mengenai penerapan fiskal tersebut. ”Mereka hanya mengatakan saya harus bayar Rp2 juta per bulan atau Rp500 ribu setiap ke luar negeri. Ini yang membuat saya bingung. Hal ini juga terjadi bukan hanya pada diri saya saja tapi juga sebagai besar ekspatriat yang ada di Batam. Mereka pada umumnya mengeluhkan aturan baru ini tanpa dilakukan sosialisasi dan penjelasan terlebih dulu,” paparnya.


Lim juga mengaku, selama ini ia sudah memenuhi semua persyaratan yang diajukan oleh pihak KPP. Setiap pengurusan surat bebas fiskal, ia selalu melampirkan SPT tahunanan pribadi, foto kopi PPh21, surat rekomendasi perusahaan dan foto kopi KITAS/paspor. ”Bahkan saya juga diminta untuk melampirkan surat keterangan gaji dari perusahaan. Dan ini sudah semua saya serahkan ke pihak KPP, tapi anehnya mereka tetap memaksa saya membayar fiskal,” ungkapnya.


Menurut pengakuan Lim, bila aturan tersebut diterapkan cukup memberatkan dirinya yang hanya bekerja sebagai teknisi dengan gaji sekitar 1.800 ringgit Malaysia (Rp4,5 juta). ”Kalau tiap bulan saya setor Rp2 juta, anak dan istri saya makan apa? Tapi pihak KPP tidak percaya bila gaji saya begitu. Mereka bilang gaji saya sampai puluhan juta. Padahal saya sudah buat pernyataan di atas materai dan siap dituntut bila saya memberikan keterangan palsu mengenai gaji saya,” jelasnya.


Lim juga menuturkan, selama ini sebagai warga negara sing yang bekerja di Batam, ia selalu mengikuti aturan yang ada. Tapi kali ini, ia mengaku cukup berat karena setahu dia tidak semua daerah di Indonesia menerapkan aturan seperti ini.

OB Mengaku Belum Tahu
Diterapkannya aturan baru yang mengharuskan setiap ekspatriat membayar PPh22 sebesar Rp2 juta per bulan atau membayar fiskal Rp500 ribu setiap keluar Batam, belum diketahui Otorita Batam (OB) sebagai pihak yang mendatangkan investor asing ke Batam.


”Kita belum tahu dikeluarkan kebijakan baru ini, sampai saat ini belum ada sosialisasi tentang kebijakan tersebut,” kata Kabag Humas dan Publikasi OB, Dwi Djoko Wiwoho, Senin (30/4) lalu.


Selain itu, OB belum mendapatkan laporan atau keluhan keberatan dari tenaga kerja asing yang bekerja di Batam. ”Biasanya jika ada persoalan atau keluhan mereka akan menyampaikan kepada kita, keluhan itu akan kita bicarakan dan kita bahas dengan instansi terkait,” tambahnya.


Meskipun begitu, Djoko berjanji melakukan pengecekan aturan baru ini, sehingga akan diketahui permasalahan yang sesungguhnya.

Telah Lama Diterapkan
Sementara itu, bagian pelayanan PPh KPP mengatakan, ekspatriat memang diharuskan membayar PPh 22 sebesar Rp2 juta per bulan, atau membayar Rp500 ribu tiap kali keluar Batam melalui pelabuhan internasional. Bukti pemotongan Rp500 ribu dapat dikompensasi ke PPh 21/25 orang pribadi.


Menurutnya, peraturan seperti ini telah lama diterapkan dan memang telah menjadi ketetapan KPP Batam . Peraturan ini, katanya, diberlakukan bagi ekspatriat yang PPh 21-nya di bawah Rp2 juta. Sedangkan jika PPh 21 yang dibayar di atas Rp2 juta, KPP baru memberikan kartu bebas fiskal permanen yang berlaku untuk enam bulan.


Meski begitu, pihaknya mengatakan, yang ekspatriat dapat mengklaim pembayaran yang mereka lakukan setiap kali ke luar Batam. Syaratnya, ia harus menunjukkan bukti pembayaran dan meminta ganti pembayaran kepada perusahaan tempatnya bekerja. ”Artinya, sama saja perusahaan yang membayar. jadi tidak perlu ada keluhan ekspatriat, karena mereka tidak dirugikan dengan adanya peraturan seperti ini,” katanya.


Informasi lain menyebutkan, pembayaran sebesar Rp2 juta yang dikeluhkan ekspatriat tersebut dikenal sebagai fiskal bebas yang berlaku permanen (certificate of tax exemption). Adapun syarat untuk memperolehnya setelah dipotong pajak PPh sebesar Rp2 juta. Fiskal bebas yang berlaku permanen tadi sesuai dengan Kep 173 tentang standar gaji orang asing di Indonesia.


Ketika ditanya kapan aturan fiskal bebas yang berlaku permanen diberlakukan, sumber tadi menyebutkan, aturan tersebut pelaksanaannya baru diterapkan sejak Maret lalu. ”Memang baru diterapkan Maret, tapi aturannya tadi sudah ada sejak dulu. Ini merupakan upaya mencari sumber lain dari penerimaan fiskal,” pungkasnya. (amx/bni/cr6/hda)

Melihat Kembali Nasib Karyawan Livatech

Melihat Kembali Nasib Karyawan Livatech PDF Cetak E-mail
Senin, 30 April 2007
Kecewa dengan Janji-janji Manis
BATAM (BP)
- Datang untuk menunggu pulang. Begitulah aktivitas karyawan PT Livatech Teknologi Indonesia di lokasi perusahaan itu. Mereka masih bertahan dengan keadaan yang tak bisa dikatakan membaik.

HINGGA kini, nasib karyawan perusahaan di Batam Centre ini, masih terombang-ambing. Setelah hampir empat bulan pasca hengkangnya perusahaan, status mereka masih belum diputuskan. Ini menjadi masalah yang membuat mereka menduga-duga ada apa di balik semua ini.


Rencananya, status tersebut akan diputuskan hari ini di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Tanjungpinang. Jadwal sidang kali ini merupakan jadwal yang ke empat kali. Jadwal pertama dan kedua, tertunda karena pengacara yang ditunjuk perusahaan, tidak datang. Sedangkan pada penjadwalan di minggu ketiga, pengacara tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen.


”Entah apa lagi alasannya. Minggu ketiga kemarin, ada lawyer (pengacara) perusahaan yang datang. Hanya saja surat kuasa perusahaan kepadanya dikeluarkan di Singapura dan tidak disahkan KBRI di sana. Kita lihat saja besok (hari ini, red), apa lawyer-nya tersangkut masalah dokumen lagi atau malah tidak datang,” ujar Ketua PUK FSPMI Livatech, Jhon Mauritz Silaban, kepada Batam Pos.


Hingga saat ini, bantuan yang mereka terima masih berasal dari PUK. Sabtu (28/4) lalu, giliran PUK Varta yang memberi sumbangan berupa beras, mie instan dan susu bayi. Rencananya, hari ini, juga akan ada bantuan dari PUK Casio Mukakuning. ”Selain itu kami masih disuport oleh Pimpinan Cabang (PC) FSPMI,” katanya.


Pemandangan di lokasi perusahaan yang mulai beroperasi tahun 1994 ini, masih tidak jauh berbeda dengan kondisi satu bulan lalu. Bendera yang sama masih terpasang dengan cara yang sama. Hanya saja kini warnanya telah memudar dan pinggirannya mulai robek. Sebuah televisi 29 inch juga masih setia mengisi penantian mereka akan kejelasan nasib. kebutuhan air, hingga saat ini masih mereka beli. Sedangkan listrik, masih diberi secara cuma-cuma oleh pihak Kara.


Sambil duduk di ruang FSPMI, Batam Pos diberitahu bahwa mereka baru saja kelar membenahi tenda pemberian OB yang rubuh tertiup angin kencang dini hari kemarin. ”Kita selamatkan dulu satu-satunya bantuan OB ini,” kelakar Jhon.


Keadaan yang sedikit berbeda adalah jumlah karyawan yang berjaga setiap hari. Kalau dulu, mereka dibagi dalam tiga shift, sekarang hanya dua saja. Ini mereka lakukan guna menghemat pengeluaran konsumsi. Dulu, Bendahara FSPMI Livatech, Eva Bena Avianti pernah mengatakan, pengeluaran per minggu untuk dapur umum mereka sekitar Rp9 juta. Dengan pengubahan shift dan banyaknya karyawan yang mulai nyambi, Jhon mengaku pengeluaran mereka berkurang menjadi sekitar Rp3 juta per minggu.


Ditanya sampai berapa lama mereka akan terus seperti itu? Jhon menukas dengan menjawab bahwa pertanyaan seperti itu jugalah yang sering mereka ajukan ke diri masing-masing. ”Itu sulit dijawab, kami sendiri juga bertanya begitu. Yang jelas, hingga hak kami dipenuhi, katanya yang ragu kapan hari itu akan datang.


Jhon yang saat itu juga didampingi Eva dan beberapa karyawan, mengaku kecewa dengan janji Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan di awal hengkangnya perusahaan. Dalam kunjungannya dulu, jelasnya, Dahlan pernah berjanji bahwa mereka dapat berobat secara gratis di RS pemerintah dan puskesmas-puskesmas. Syaratnya, mereka harus menunjukkan badge tanda karyawan perusahaan dan menyertakan list seluruh nama karyawan.


Tapi agaknya itu cuma janji manis alias angin surga semata. Buktinya saat berobat pertama kali ke RSUD, mereka ditolak. Setelah memaksa, baru diperbolehkan. ”Tapi khusus karyawan yang ini saja ya, karena sudah terlanjur,” ucap Jhon menirukan perkataan Nenden (Kepala RSUD) saat itu.


Belakangan, ada kasus seorang karyawan Livatech yang mengalami sakit paru-paru. FSPMI Livatech bermaksud membawanya ke RSUD, namun lagi-lagi mereka ditolak. Kali ini alasan RSUD karena bagian paru-paru di sana sedang direnovasi.


Akhirnya mereka membawa rekan mereka ke RSOB. Di sana, mereka tidak lagi mengajukan permohonan bebas biaya pengobatan karena kapok ditolak.


Untuk itu, mereka sepakat membiayai perawatan rekan mereka. ”Namun takdir menentukan lain. Dua hari dirawat, rekan kami itu meninggal,” kata Jhon yang mengaku dalam dua hari itu mengeluarkan biaya sekitar Rp2 jutaan.


Mereka berharap, dengan keadaan mereka yang terlunta-lunta ini, pihak-pihak terkait jangan lagi memberi janji-janji yang hanya mengecewakan mereka. Entah itu dari perusahaan, PHI, pemerintah maupun instansi. (enny)

Gedung Giken Segera Dilelang

Gedung Giken Segera Dilelang PDF Cetak E-mail
Rabu, 25 April 2007
Supplier Singapura Benarkan Utang Giken
BATAM (BP)
- Gedung milik PT Citra Buana Prakarsa (CBP), Batuampar yang saat ini disewa PT Giken dipastikan dilelang. Prosesnya tinggal menunggu penetapan dari Ketua Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Tanjungpinang dan diajukan surat permintaan pelelangan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Batam.

Panitera Kepala PHI Tanjungpinang Syafri HMY mengatakan, proses pelelangan gedung milik CBP tinggal menunggu penetapan Ketua PHI Tanjungpinang. ”Kalau surat dari ketua sudah ada. Saya buat surat permintaan pelelangan kepada kantor lelang. Tak ada lagi kendala,” kata Syafri, Selasa (24/4) kemarin.


Syafri juga mengatakan, pada dasarnya PHI sudah cukup kooperatif dengan memberikan tenggang waktu dari awal penetapan PHI pada CBP untuk melunasi kewajibannya kepada mantan karyawannya sebagai pemohon. Namun, manajemen CBP tak pernah hadir.


Syafri mengatakan, gedung tak harus dikosongkan dulu sebelum lelang. Pengosongan baru akan dilakukan setelah lelang dilakukan dan pemenang lelang sudah ada. ”Mereka harus bayar, kalau tak mau gedungnya harus dilelang. Perlawanan hukum berupa kasasi juga ditolak Mahkamah Agung,” ujarnya.

Cari Solusi Terbaik
Terkait polemik PT CBP dan mantan sekuritinya, Wakil Wali Kota Batam Ria Saptarika mengatakan, pelelangan bukanlah solusi terbaik dalam penyelesaian masalah ini. Menurutnya, PT CBP dan mantan sekuritinya masih bisa duduk bersama. ”Jangan sampai persoalan kedua belah pihak ini menghambat aktivitas produksi PT Giken yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan persoalan kedua belah pihak,” kata Ria, pekan lalu.


Ria mengatakan, pelelangan bukanlah solusi terbaik, apalagi gedung yang akan dilelang masih ditempati oleh perusahaan yang di dalamnya ada sekitar 2.000 karyawan yang menggantungkan hidupnya.


Relokasi bisa saja dilakukan oleh PT Giken, namun butuh waktu lama. Apalagi perusahaan sebesar Giken, memindahkan mesin lalu melakukan penyesuaian-penyesuaian membutuhkan waktu yang lama. ”Relokasi tak mudah. Butuh waktu berhari-hari dan harus menyesuaikan lagi dengan tempat baru,” katanya.


Ria meminta pihak yang berpolemik tak mengorbankan investor dan ribuan karyawan yang menggantungkan nasibnya di PT Giken. Ia juga mengaku tak habis pikir, mengapa PHI Tanjungpinang menjadikan gedung yang ditempati oleh PT Giken sebagai jaminan, jika CBP tak membayarkan kewajiban mereka pada mantan sekuritinya. Padahal, gedung milik CBP bukan hanya yang ditempati oleh PT Giken.


Seperti diketahui dalam perkara antara mantan sekuriti dan PT CBP, PHI Tanjungpinang telah mengeluarkan putusan Nomor 05/G/2006/PHI.PN.TPI tertanggal 12 Januari 2007. PT CBP diwajibkan membayar kelebihan cuti tahunan para sekuriti itu sekitar Rp19.682.400. Kemudian uang proses Rp95.440.000 dan uang kelebihan jam lembur Rp340.559.000. Total yang wajib dibayarkan Rp455.681.533.


Perlawanan hukum sudah dilakukan oleh CBP dengan mengajukan kasasi ke MA. Namun kasasi CBP ditolak oleh MA melalui suratnya Nomor:147/92/A/PHI/07/Sk.Perd, tertanggal 9 Maret 2007. Kasus ini berawal saat PT CBP melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 34 sekuritinya tahun 2006 lalu. Para sekuriti menolak dan menempuh jalur hukum.

Utang ke Inabata

Masih terkait keberadaan PT Giken, dikabarkan perusahaan ini memiliki utang kepada sejumlah supplier di Singapura. Salah satunya adalah Inabata Pte. Ltd. Salah satu pimpinan Inabata Pte. Ltd, SL Teo yang dihubungi lewat telepon, tadi malam, membenarkan soal utang itu Tapi, Teo tak bersedia menjelaskan lebih lanjut masalah tersebut. ”Saya tidak bisa menjelaskannya kepada Anda,” katanya.


Utang ke Inabata ini merupakan bagian dari sejumlah utang yang dimiliki PT Giken kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan ini. Sebelumnya, sejumlah supplier di Batam juga mengeluhkan ihwah belum lunasnya pembayaran transaksi yang mereka lakukan dengan PT Giken. (dea)