Sunday, August 5, 2007

PHRI Belum Setujui UMS Rp903.000

PHRI Belum Setujui UMS Rp903.000 PDF Cetak E-mail
Rabu, 25 Juli 2007
BATAM (BP) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam membantah telah menyepakati Upah Minimum Sektor (UMS) Pariwisata sebesar Rp903.000, seperti yang diungkapkan oleh Dewan Pengupahan Provinsi Ade Nasution di sejumlah media terbitan Batam.

”Tidak benar PHRI sepakat, sama sekali tidak ada kesepakatan. Jadi kalau ada yang mengatakan PHRI sepakat, itu menyesatkan,” ujar Wakil Ketua III PHRI Kota Batam Lody Anjes di Kantor PHRI Kota Batam, Pelita, Selasa (24/7).


General Manager Panorama Regency Hotel ini memaparkan, pertemuan Senin (23/7) kemarin di Kantor Wali Kota Batam dengan pihak Disnaker Provinsi Kepri dan Kota Batam dan perwakilan serikat buruh, sama sekali tidak ada kesepakatan.


Bahkan, utusan PHRI saat itu antara lain, Lody Anjes, Sigit, Helli, Yanto, Edy, Budi dan beberapa pengurus PHRI lainnya. Tapi mereka memilih walk out (keluar) dari pertemuan itu, setelah PHRI ribut dengan pengurus Kadin Provinsi Kepri Raja Mustaqim, yang saat itu hadir atas nama mewakili pengusaha.


Namun sebelum keluar ruang pertemuan, perwakilah PHRI sempat memaparkan alasan mereka tidak hadir, setelah tujuh kali disurati. PHRI, kata Lody, bukan membangkang, tapi pada saat disurati, PHRI saat itu dalam keadaan vakum (sejak Februari 2006). Atas inisiatif Ketua Promotion Tourism Board (PTB) Rahman Usman, PHRI aktif kembali pada Maret 2007 dengan kepengurusan baru.


Selain itu, ketidakhadiran PHRI saat diundang untuk membahas UMS, juga disebabkan belum adanya surat balasan dari Gubernur, terhadap surat yang dikirimkan oleh PHRI pada Gubernur Provinsi Kepri Nomor 002/PHRI/BTM/2007 tertanggal 13 Maret 2007, yang isinya, PHRI tidak akan mau membahas UMS dengan alasan antara lain, daerah wisata lainnya di Indonesia tidak mengenal adanya UMS di bidang Pariwisata seperti Bali, Yogyakarta dan kota lainnya.


PHRI juga menilai, penerapan UMS Pariwisata di Kota Batam diskriminatif, karena kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Kepri tidak menerapkan UMS. Yang paling jelas diskriminasinya, kata Lody, pembahasan UMS hanya PHRI saja yang dikejar-kejar, sementara bicara soal Sektor Pariwisata, tidak hanya PHRI, ada ASITA, AJAHIB, Gelper dan lainnya yang sama sekali tidak pernah dilibatkan.


”Kami sudah pernah minta ke Wali Kota Batam, agar dipertemukan semua sektor Pariwisata di Batam, namun tidak ada realisasi dari Wali Kota,”’ ungkap Lody.


Alasan lainnya, upah yang diterima oleh karyawan yang bekerja di sektor pariwisata, khususnya perhotelan, telah memenuhi standar UMK dan masih banyak mendapatkan berbagai tunjangan (tergantung kebijakan masing-masing hotel, red) antara lain, pakaian seragam, perumahan atau transportasi, makan, Jamsostek, pendidikan/training, tambahan pendapatan dari service charge dan beragam pendapatan lainnya, sehingga total upahnya relatif lebih tinggi.


Selain itu, persoalan UMS sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Permenaker Nomor Per-01/MEN/1999 tentang UMS Jo Keputusan Menaker Nomor: Kep 226/MEN/2000 bahwa penetapan UMS harus melalui Bipartit (buruh dan pengusaha).


Sekretaris PHRI Kota Batam Sigit juga mengungkapkan, pada pertemuan Senin lalu di Pemko Batam, PHRI dipaksa harus sepakati nilai UMS saat itu juga. Bahkan PHRI diancam, jika tidak sepakat, mereka akan tetap mengambil keputusan meski tanpa persetujuan PHRI. Juga mengancam akan mengerahkan buruh untuk demo yang efeknya akan dirasakan oleh pengusaha.


”Saya menilai ini pemikiran goblok, mau demo silahkan saja, tapi bukan hanya pengusaha yang merasakan dampaknya, pekerja sektor pariwisata juga, jadi jangan main ancam, kami tidak takut,” ujar Sigit dengan nada tinggi.


Lody kembali menambahkan, disaat PHRI diserang habis-habisan pada pertemuan itu, termasuk oleh Raja Mustaqim yang saat itu mengaku perwakilan pengusaha (kadin Provinsi Kepri), tidak satupun dari pihak pemerintah, baik itu Pemko Batam, Pemprov Kepri yang bereaksi, mereka hanya diam. Karena dipojokkan dan berbelit-belit, akhirnya pada pertemuan itu, pengurus PHRI memilih keluar.


”Kami ditodong agar menerima UMS itu, kami tidak mau, jadi kami keluar. Eh, malah dibilangnya kami sepakati nilai UMS. Sekali lagi, PHRI tidak pernah sepakat, kami minta pelaku pariwisata di Kota Batam, khususnya Perhotelan, tidak terprovokasi dan jangan menerapkan keputusan sepihak itu,” pinta Lody.


Sementara itu, Ketua PTB Rahman Usman mengatakan, sektor pariwisata bukan hanya PHRI, ada ASITA, AJAHIB, Gelper, SPA, Golf dan organisasi lainnya yang bergerak di sektor pariwisata. ”Harusnya semua dilibatkan, kalau memang mau bahas UMS dan harus berlakun nasional, jangan hanya Batam. Kalau hanya PHRI yang dipaksa, itu sama saja diskriminatif,’ ujarnya.


Sementara itu, selain sepakat menolak keputusan sepihak UMS Rp903 ribu (lima persen dari UMK Rp860 ribu), PHRI juga akan menemui Ketua Kadin Provinsi Kepri John Kennedy, guna meminta pertanggungjawaban, atas sikap arogansi yang ditunjukkan oleh anggotanya Raja Mustaqim terhadap PHRI Kota Batam.


PHRI juga menilai Pemko Batam dan Provinsi Kepri tidak bijak. Sejatinya, sebagai wasit yang baik, bisa mendudukkan persoalan UMS ini secara proporsional dengan melibatkan semua kalangan. Tapi malah terkesan diam dan membiarkan PHRI tertekan. ”Lagian apa sih yang telah diberikan oleh Pemko ke kita, padahal, kita sudah menjadi penyumbang pajak di Batam ini,” ujar pengurus PHRI lainnya yang hadir.


Pada saat memberikan keterangan, selain Sigit (GM Mercure) dan Lody (GM Panorama Regency Hotel), juga hadir Anto (GM Harmoni Hotel), Helli (Asisten GM Planet Holiday), Yanto W (GM Novotel), Edy (GM Vista Hotel), Budi (GM Grand Mutiara Hotel), Anis (GM Batam View), Angelina (Raflesia Hotel) dan sejumlah petinggi hotel di Batam lainnya. (nur)

No comments: