Sunday, August 5, 2007

Tujuh Bulan Penderitaan Karyawan PT Livatech

Tujuh Bulan Penderitaan Karyawan PT Livatech PDF Cetak E-mail
Kamis, 26 Juli 2007
Rumah Disegel, Janji Pejabat Hanya Isapan Jempol
BATAM (BP)
- Tanggal 29 Juli 2007, genap tujuh bulan PT Livatech Elektronik di Kara Industrial Park, Batam Centre tutup. Lalu bagaimana kondisi 1.300 karyawannya saat ini?

JARUM jam tepat menunjukkan pukul 12.00 WIB. Dengan bermandikan keringat, puluhan karyawan yang baru saja bejalan kaki ke depan Kantor Wali Kota Batam untuk memperjuangkan nasib mereka, kembali ke markasnya, Gedung Livatech di Kawasan Industri Kara, Batam Centre.


Sambil mengelap keringat, mereka antri di dapur umum yang dipersiapkan oleh rekan-rekan mereka. Periuk nasi berkapasitas kurang lebih 5 kilogram yang bagian luarnya hitam pekat mengepulkan asap ketika tutupnya dibuka oleh karyawan lainnya yang Rabu siang (25/7) itu, bertugas di dapur umum. Sementara karyawan lainnya mempersiapkan lauk pauk berupa potongan kubis, potongan mentimun, tempe, dan ayam goreng yang dipotong dalam ukuran kecil.


Beberapa karyawan wanita sambil menggendong buah hatinya, antri mengambil makan siang di dapur umum depan perusahaan itu. Balita-balita mereka siang itu hanya diberikan potongan mentimum, untuk dikunyah. Maklumlah, orangtua mereka tak sanggup lagi membelikan makanan bayi, karena sudah tujuh bulan tidak bergaji.


”Tolonglah bantu suarakan nasib kami ini kepada pemerintah. Inilah kondisi kami sekarang, hanya makan seadanya untuk bisa bertahan hidup,” teriak seorang karyawan wanita, sambil mengambil potongan mentimun di lantai, yang jatuh dari mulut bayinya, dengan mata berkaca-kaca.


Teriakan sang karyawan wanita ini, spontan diikuti oleh karyawan lainnya. Sambil memegang piring plastik di tengah antrian, mereka terus meminta, agar nasib mereka diperjuangkan. Mereka minta Pemko Batam dan DPRD Batam peduli.


Pemandangan memilukan itu tak hanya terlihat di dapur umum. Juga terlihat di depan pintu masuk perusahaan itu. Puluhan karyawan yang saat itu giliran hadir, mencoba menghibur bayi-bayi mereka. Sesekali disuapkan nasi putih tanpa lauk ke mulut bayi mereka. Ada bayi yang berontak, ada juga yang mencoba menguyah lalu dimuntahkan kembali.


Satu-satunya hiburan, hanyalah sebuah televisi berukuran 29 inchi berwarna silver yang masih menyala di depan pintu masuk perusahaan ini. Meski sesekali tersenyum menatap adegan di layar kaca itu, namun tak sedikit diantara mereka tatapannya terlihat hampa, seperti tiada harapan lagi. Di balik meja reception, juga terlihat dua wanita sedang menikmati makan siang dengan menu nasi putih, sambel, dan potongan kecil ayam goreng. Sama sekali tak ada sayur, sehingga terlihat sulit untuk menelan. Namun perlahan, mereka mencoba menghabiskan nasi dan lauk yang seadanya itu, agar cacing dalam perut mereka tidak berontak.


Di depan meja reseption, sebuah ruangan kecil berukuran 1,5 x 2 meter tampak sesak dengan tas dan beberapa kotak. Seorang wanita tampak lelap dalam tidur siangnya. ”Di sinilah kami tidur. Kami sudah tak sanggup lagi bayar kontrakan, jadi mau tak mau terpaksa kami tidur di sini, mau pulang kampung ongkos tak ada,” ujar Marni dan Mega, sambil mencoba menelan nasi dan lauk pauk dalam remasan jemarinya.


Nasib lebih tragis dialami oleh Eva. Ibu satu anak yang sudah 10 tahun bekerja di Livatech ini, sudah mengirim anaknya ke orangtuanya di kampung karena tak sanggup lagi membiayainya. Sepeda motor suaminya sudah di tarik dealer, rumahnya juga tinggal menghitung hari, akan disegel bank karena sudah beberapa bulan nunggak. ”Mau buka usaha tak ada modal, cari kerja sudah sulit,” ujarnya.


Japatar Purba yang sudah 13 tahun bekerja di Livatech juga bernasib sama. Istri dan ketiga anaknya terpaksa ia pulangkan ke kampung halamannya di Medan, karena beban hidup yang begitu besar menghimpit, setelah tujuh bulan tak bergaji. ”Saya tetap bertahan karena menanti hak kami yang belum dibayarkan,” ujarnya.


Penderitaan karyawan Livatech kian menjadi-jadi, setelah beberapa perusahaan menolak mempekerjakan mereka.


Pengurus SPMI Livatech Dody Irawan mengungkapkan, alasan beberapa perusahaan menolak eks karyawan Livatech karena Livatech masih bermasalah. Selain itu, ada juga yang menolak dengan alasan tidak ada bukti pengalaman dan kebanyakan sudah berumur dan berkeluarga, sementara beberapa perusahaan menginginkan karyawan yang masih fresh graduate.


”Bagaimana mungkin ada surat pengalaman, kalau Livatech tutup. Padahal kami ini rata-rata sudah lama bekerja, ada yang sudah di atas 10 tahun,” ujar Doddy.


Ia juga memaparkan, sebelumnya pihak Disnaker telah menjanjikan akan membantu karyawan Livatech dalam mencari pekerjaan baru, namun tidak ada realisasi. Kalaupun sudah ada yang bekerja saat ini, itu usaha pribadi masing-masing. ”Saya masih ingat janji Emrizal, karyawan Livatech jadi prioritas, tapi apa, semuanya nihil,” katanya.


Tak hanya itu, Janji Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, bahwa karyawan Livatech bisa dilayani di puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah secara gratis, dengan cukup menunjukkan badge (tanda pengenal karyawan Livatech), ternyata hanya tinggal janji. Saat karyawan Livatech ini berobat, masih dimintai kartu Askeskin, sementara mereka bukan peserta Askeskin.


Komisi IV DPRD Kota Batam yang membidangi perburuhan, yang sejatinya juga bisa memperjuankan nasib mereka, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka sibuk dengan kunjungan kerja (kunker) dengan membawa bendera ketenagakerjaan, padahal hasilnya tidak jelas. ”Kami berharap pemerintah membantu kami, agar persoalan ini cepat selesai dan kami bisa mendapatkan hak kami. Jangan hanya janji-janji saja,” pinta Dody.


Mereka juga mendesak PHI Tanjungpinang untuk segera mengambil langkah-langkah, agar apa yang menjadi hak karyawan Livatech segera di dapatkan. Pekembangan terakhir kasus Livatech ini adalah, pesangon dua kali ketentuan, gaji Januari dan Februari masing-masing 50 persen. Saat ini tahapannya sudah sampai pada teguran terhadap manajemen Livatech untuk segera membayarkan hak karyawan itu.
Teguran atau disebut juga anmaning itu, sejatinya hanya delapan hari, namun saat ini anmaining pertama sudah lebih dari satu bulan. Anmaining kedua segera meyusul. ”Tuntutan kami hanya satu. Secepatnya apa hak kami, bisa kami kami peroleh. Kami berharap paling lambat sebelum bulan puasa,” pinta Dody dan karyawan Livatech lainnya.


”Tahun ini sangat menyedihkan, biasanya kalau sudah bulan Juli atau jelang puasa, kami sudah hitung-hitung THR (tunjangan hari raya) yang bakal kami dapatkan. Tapi sekarang, apa yang bisa kami hitung. Makan saja susah, untung masing ada bantuan dari PUK SPMI lainnya,” ujar Marni, menambahkan dengan mata berkaca-kaca.


Kesengsaraan karyawan Livatech ini, sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Komisi IV DPRD Kota Batam. Komisi yang sejatinya bisa membantu memperjuangkan nasib mereka, malah saat ini sibuk dengan kunker. Padahal Ranperda Ketenagakerjaan sudah ditolak dalam sidang Paripurna DPRD Kota Batam. Jika mekanisme membolehkan, jauh lebih baik anggaran ratusan juta untuk Ranperda Ketenagakerjaan itu dipergunakan untuk menbantu korban PHK jika memang pengambil kebijakan di Batam ini mau bijak. (nur)

No comments: