Saturday, April 21, 2007

Melihat Kembali Nasib Karyawan Livatech

Melihat Kembali Nasib Karyawan Livatech PDF Cetak E-mail
Rabu, 28 Maret 2007

Setia Jaga Aset Meski Status Tak Jelas

BATAM (BP) -
Sekitar tiga puluh orang perempuan yang tampak bosan, duduk di kursi-kursi kayu yang disusun membentuk dipan. Di antara mereka ada yang menonton TV, tiduran atau sekadar ngobrol. Kegiatan seperti ini harus mereka jalani pasca hengkangnya perusahaan elektronik yang mulai beroperasi tahun 1994 tempat mereka bekerja.

Melewati pagar biru perusahaan, tampak terpasang sebuah televisi 29 inch buatan Livatech, persis di sisi kiri pintu masuk. Televisi ini sengaja mereka ambil dari showroom mereka. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk hiburan karyawan yang datang setiap hari. TV ini, diakui mereka hidup hampir 24 jam sehari selama dua bulan terakhir. ”Kami jaganya kan di luar, tidak boleh masuk. Kalau tidak ada TV dan tidak ada kegiatan, kami mau ngapain?” kata salah satu karyawan jaga sore yang Batam Pos temui kemarin.


Setiap hari, 300 karyawan harus menandatangani daftar hadir sebagai tanda mereka masih peduli dengan perusahaan. Mereka dibagi dalam tiga shift; normal, second dan malam. Setelah menandatangani absen, mereka boleh pergi nyambi kerja lain. Seperti karyawan laki-laki yang kebanyakan menjadi pengojek. ”Kita juga tidak bisa melarang mereka menghidupi keluarga, yang penting mereka datang,” kata Bendahara SPMI Livatech, Evi Bena Avanti.


Saat ditanya sampai berapa lama mereka akan terus seperti itu, Eva hanya menjawab akan menunggu sampai aset terjual dan gaji mereka dibayar. Jika penjualan tidak mencukupi membayar gaji mereka? ”Mau bagaimana lagi. Kami telah berusaha. Yang jelas, kami terus melakukan hearing ke dewan dan dinas,” jawabnya.


Selama sekitar dua bulan tanpa kepastian itu, mereka bisa dikatakan makan dari kepedulian FSPMI, PUK, Dinsos, Disnaker dan pihak yang peduli. Tak jarang mereka harus berhemat dengan lauk seadanya. ”Siang tadi, misalnya (kemarin, red), kami makan dengan mi instan,” aku mereka yang kebanyakan pasrah dengan keadaan itu.


Berdasarkan pengakuan Eva, keadaan mereka semakin buruk. Tak hanya keluhan karyawan yang mulai bosan dan putus asa, tapi juga kondisi dapur mereka. Termasuk susu bagi balita para karyawan yang telah habis dan sampai sekarang belum ada sumbangan lagi.
Dalam seminggu, pengeluaran mereka, khusus untuk dapur umum sekitar Rp9 juta. ”Saat ini, keuangan SPMI, hanya cukup untuk menanggung pengeluaran selama satu bulan, dengan asumsi masih terus ada sumbangan dari FSPMI pusat dan dinas,” kata bendahara SPMI Livatech ini lagi.
Belum berakhir sampai di sana, Jumat (23/3) sore lalu, air yang biasa mereka gunakan untuk keperluan masak, wudhu dan sebagainya, terpaksa diputus. Alasannya, karena mereka sudah tidak membayar selama hampir tiga bulan. Kondisi ini, mau tak mau, membuat mereka harus membeli air dari tanki ATB. ‘’Sabtu malam, kami terpaksa beli air sebanyak enam ton dari ATB. Harganya Rp350.000. Tapi Minggu malam, langsung habis,” kata Eva lagi.


Karena untuk meng-cover keperluan karyawan yang berjaga, mereka membeli air lagi pada Senin pagi. Kali ini mereka membeli sebanyak lima ton, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu Rp190.000. ”Kami tidak tanyakan kenapa harganya murah. Asumsi kami karena pemesanan kedua kami lakukan pada jam kerja,” kata karyawan yang dulunya trainer Livatech ini.
Pemutusan aliran air ersih ke pabrik Livatech ini disesalkan Wakil Wali Kota (Wawako) Batam Ria Saptarika. ”Masalah Livatec dalam proses hukum. Setidaknya masih ada aset perusahaan yang bisa jadi jaminan. Sekarang ATB memutus aliran air ke sana, padahal pekerja sangat membutuhkannya,” kata Ria.


Humas PT ATB Adang Gumilar yang dikonfirmasi Batam Pos terkait pemutusan aliran air ini mengaku terpaksa dilakukan karena Livatec menunggak tagihan air yang cukup besar dan juga tak ada yang menjamin. “Mereka menunggak dan tak ada jaminan siapa yang membayar,” kata Adang melalui short message service (SMS).


Sambil menunggu hujan reda, Batam Pos memperhatikan keadaan sekitar perusahaan milik pemodal Malaysia dan Singapura ini. Di halaman tampak dua mobil Toyota, satu lori sedang dan satu forklift. Mereka mengatakan, lori dan mobil lain sudah disita. Sedangkan di bagian depan, tertanam tiga tiang bendera, masing-masingnya adalah bendera Merah-Putih, bendera FSPMI dan bendera Livatech.
Hanya saja, jika bendera Merah-Putih dan bendera FSPMI dikibarkan seperti biasa, bendera Livatech dikibarkan setengah tiang. Para karyawan sengaja memasang bendera ini setengah tiang sebagai tanda berkabung atas kondisi mereka dan Livatech. ‘’Dari mulai ada kasus, kami pasang begitu,” kata mereka.


Keadaan ini mereka terima dengan pasrah yang terpaksa. Dalam status ini pun, mereka masih enggan dikatakan mantan karyawan. Karena belum ada pengalaman kerja, jadi mereka menganggap masih berhak disebut karyawan Livatech. ”Nama ini memang tak membanggakan. Tapi kami tetap akan jaga aset ini, walau sebagai karyawan STJ (Status Tak Jelas, red),” kata salah satu karyawan dan disetujui yang lain.

No comments: