JAKARTA (BP) - KETUA Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi meminta struktur organisasi Dewan Kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimum tidak terlalu banyak diisi birokrat. Alasannya, selama ini birokrasi justru menjadi musuh pengusaha. ’’Serahkan saja pada Gubernur karena dia kan ketuanya. Tetapi harapan saya taruh di situ (Dewan Kawasan, red) pihak-pihak swasta dan profesional. Jangan terlalu gemuk dengan birokrasi yang selama ini justru menghambat dan membuat urusan menjadi susah,” ujar Sofyan saat ditemui Batam Pos, Rabu (5/9) lalu di Jakarta. Menurut Presiden Komisaris PT Sat Nusapersada Tbk. itu, hal mendesak yang perlu dilakukan adalah menciptakan kawasan BBK semakin kompetitif dengan kawasan sejenis khususnya di Vietnam. ’’Justru kalau dengan China kita sudah mampu berkompetisi
dan kini bukan pesaing lagi. Tetapi dengan Vietnam, kita harus benar-benar mampu bersaing karena fasilitas yang diberikan kepada investor lebih menjanjikan dan ongkos pekerja juga murah,” ujar Sofyan. Lebih lanjut dikatakan agar dalam pengelolaan kawasan FTZ BBK juga bercermin dari kegagalan FTZ di Sabang. Sofyan berharap agar BBK dengan segala kelebihannya, khususnya letak yang berdekatan Singapura, dapat dimaksimalkan dan dapat menjadi tujuan investasi yang menjanjikan.
Perihal tarik ulur pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2007 di Komisi VI DPR, bos Gemala Group itu optimis Perppu akan dapat diterima DPR dan dapat diberlakukan sebagai undang undang. Selain memang Perppu itu dibutuhkan, ujar Sofyan, tarik ulur dalam pembahasan RUU ataupun Perppu adalah hal yang biasa.
Perlu Kompromi Politik DPR dan pemerintah diharapkan dapat melakukan kompromi politik dalam hal Perppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Free Trade Zone. Alasannya, daripada memunculkan ketidakpastian hukum dan menempatkan Pemerintah dalam posisi yang berseberangan. Labih baik Perppu dibahas dan dikaji ulang sebagaimana pembahasan rancangan undang undang.
Demikian disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI) Profesor Dr Ismail Suni pada Rabu (5/9) lalu dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Komisi VI DPR dengan ahli tata Negara guna mencari masukan terkait pembahasan Perppu FTZ.
’’Tidak ada aturan yang melarang Perppu itu dapat dibahas ulang atau dikaji dengan melakukan penyempurnaan-penyempurnaan. Meski konstitusi mengatur Perppu itu diterima atau ditolak oleh parlemen, namun tetap bisa dibahas seperti RUU biasa,” ujar Suni.
Menurut Suni, jika pemerintah dan DPR tetap berdiri pada keputusan masing-masing, maka yang terjadi justru hal yang kontraproduktif karena akan terjadi kebingungan di masyarakat bawah sekaligus memunculkan adanya kekosongan payung hukum.
Usulan Suni itu secara positif disambut fraksi PDIP, fraksi terbesar kedua di DPR yang selama ini dikenal kritis dan menolak keberadaan Perppu FTZ itu justru akan menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). ’’Jadi nanti kita bahas seperti UU biasa sehingga ada persetujuan bersama dengan pemerintah,” ujar anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP, Irmadi Lubis.
Menurutnya, yang dipermasalahkan Fraksi PDIP selama ini justru mengapa pemerintah mengamandeman UU 36 Tahun 2000 dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2007. Padahal, katanya, jika pemerintah langsung menerbitkan Perppu tentang FTZ di BBK tidak akan menjadi masalah.
Hal senada juga dikatakan Hasto Kiristianto. Menurut anggota Fraksi PDIP itu, dengan adanya DIM fraksi, maka payung hukum FTZ justru bisa disempurnakan dan diperbaiki. Hanya saja, kata Hasto, kendalanya dalam waktu yang terbatas sehingga belum tentu pembahasan Perppu dapat diselesaikan pada masa sidang DPR saat ini yang akan berakhir pada 10 Oktober.
’’Amanat UU, Perppu itu harus selesai dibahas pada satu masa sidang DPR setelah penerbitan Perppu. Jadi risikonya kalau kita tidak dapat menerima Perppu, maka umur Perppu FTZ hanya akan sampai 10 Oktober. Otomatis peraturan turunannya akan batal demi hukum karena tidak mungkin PP melawan UU,” ujar Hasto.
Sementara Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini mengatakan, opsi atas Perppu FTZ hanya ada dua. Yakni pertama, menolak Perppu karena bertentangan dengan UU lainnya lantas dicarikan payung hukum baru. Dan kedua, menerima Perppu karena kondisinya mendesak.
Pada RDPU dengan pakar hukum tata negara tersebut, terungkap kemungkinan pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2007 bakal berlangsung alot. Dalam pembahasan awal Perppu FTZ dengan ahli hukum tata negara, selain Fraksi Partai Demokrat hampir seluruh fraksi mengkritisi langkah pemerintah menerbitkan Perppu.
Bahkan Fraksi Partai Golkar yang sebenarnya termasuk dalam fraksi pendukung pemerintah pun turut serta mengkritisi penerbitan Perppu yang dinilai tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur UUD 1945, khususnya tentang kondisi kegentingan yang memaksa sabagai persyaratan penerbitan Perppu. Dalam rapat dengar pendapat umum antara Komisi VI DPR dengan ahli hukum tata negara, tercatat 11 penanya yang memberikan tanggapan ataupun pertanyaan tentang layak dan tidaknya Perppu FTZ diterbitkan.
Sementara Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan bahwa diterima atau ditolak paripurna DPR harus mengambil keputusan sebelum 10 Oktober.
’’Agar semuanya semakin jelas. Tetapi kalaupun nanti dibahas dengan menyusun DIM kendala waktu bisa diatasi dengan pembahasan secara maraton. Dengan demikian, Perppu itu bisa diterima semua pihak dan tetap menjadi undang-undang tanpa menimbulkan kekosongan payung hukum,” cetusnya.(ara)
|